05. Dunia Akan Tetap Berputar

314 53 61
                                    



Minggu sore begini tidak ada yang bisa Aji lakukan selain meratapi kenyataan, kalau ternyata besok sudah senin lagi. Hari untuk sekolah semakin dekat. Dia menghela napas, memelut lutut bengong di gazebo dekat gerbang depan.

Dari sela-sela pintu gerbang, Aji bisa melihat jalanan depan rumah lumayan ramai. Minggu sore memang saatnya ibu-ibu arisan, bocil-bocil komplek main lari-larian, juga bapak-bapak yang kumpul di pos ronda.

Tapi Papa lain, bukannya ikut kumpul malah hanya di rumah.

"Abang belum pulang, kah, Mas?" tanya Lian menghampiri, anak itu membawa keripik kaca.

"Belum," jawab Aji singkat. "Kan, bisa dilihat sendiri, orangnya juga belum ada di rumah." Tapi dia langsung sewot emosi.

Aji kembali memandangi depan, tidak menghiraukan Lian karena isi kepalanya sedang memikirkan banyak hal. Salah satunya tentang besok harus sudah kembali beraktivitas dari pagi sampai petang. Dan untuk menunggu jumat sore kembali, masih harus melewati hari-hari yang pasti akan terasa sangat lama. Alih-alih senin, justru minggu sore menjadi hari yang sangat tidak Aji sukai.

"Aku kira tadi suara mobil abang pulang," katanya melenguh kecewa, lalu ikut duduk di sebelah Aji. Di lehernya ada handuk kuning ngejreng, dia tadi bilang mau mandi.

Aji hanya menggeleng.

"Mas kenapa, sih?" Lian menekuk dahi heran, hari ini kakaknya cukup pendiam. Biasanya Aji suka ngomong jokes-jokes garing, tapi hari ini tidak.

Yang praktis pertanyaan itu membuat Aji menoleh dengan dahi mengkerut. "Enggak kenapa-kenapa," jawabnya santai.

"Kok, diam aja dari tadi?"

Lagi, cukup lama Aji terdiam sebelum menjawab. "Biar kayak cowok cool. Cowok cool, kan, banyak diam kayak Nicholas Saputra."

Ha?

Lian benar-benar melongo.

Sungguh, dia sempat khawatir karena takut kakaknya itu sedang sakit gigi atau sedang galau atau kenapa makanya diam. Tapi yang paling benar seharusnya dia tidak usah peduli.

"Abang pulang jam berapa, sih?" Kini Lian jadi menopang dagu pada lutut. "Abang pulang jam berapa, sih, Mas?"

Aji sejak tadi di sini, masih pula Lian bertanya. "Ya, nggak taulah."

"Gitu aja masa nggak tau?"

Aji memicing sinis, mulutnya mendesis kecil. "Telepon aja, sih, tanyain sendiri. Mas tuh bukan cenayang yang tau isi hati abang."

"Nggak diangkat sama abang."

Aji mengangkat alis. "Tumben?" Dia heran sendiri. "Emang kenapa, sih, nanyain abang mulu?"

"Mau nitip abang buat beliin dimsum dekat kantor pos depan situ." Lian mengerucutkan bibir.

"Tumben amat minta nitip abang? Biasanya beli sendiri juga. Pakai sepeda atau pinjam motor kak Inka aja sana. Kalau nggak ada uang minta papa."

"Nggak mauuuu." Anak itu jadi merengek. "Ini tuh bukan masalah kendaraan apalagi uang."

"Terus?" tanya Aji peduli tak peduli.

"Abang nggak lihat komplek seramai apa? Aku males pasti ditanyain ini anaknya siapa. Padahal mereka juga tau aku anaknya papa Sano." Anak itu ngoceh panjang.

Iyain aja.

"Adek, katanya tadi mau mandi? Kok, malah duduk di situ?" Papa tiba-tiba muncul dari dalam rumah berkacak pinggang, praktis membuat Lian menegak dan menepuk dahinya keras.

Serangkai Kata [New Version]✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang