Akhirnya, pertengkaran Aji dan Lian selesai ketika Imo Irish datang. Sebab seperti biasa, kedatangan Imo Irish selalu membawa kedamaian. Padahal sungguh, Imo Irish tidak berbuat apa-apa, hanya berdiri diam memandang dengan tangan bersidekap dada. Namun, Aji dan Lian langsung berhenti bertengkar.
Kini, di bawah pohon mangga yang dipenuhi segala jenis bunga, Aji berjongkok tanpa alasan. Hanya memandangi bagaimana cantiknya warna-warni kelopak mereka. Lama sudah waktu berlalu sejak ia datang dan hanya diam tidak melakukan apa-apa, bahkan juga tak terlalu peduli bila kakinya sudah tak memiliki rasa saking lamanya berjongkok.
Sebab hari ini, tanpa orang-orang ketahui, Aji merasakan kerinduan hebat pada mama tercinta. Ia tahu rindu yang tak berujung ini tidak akan pernah bisa terobati, usapan hangat mama yang mengusap puncak kepalanya juga tidak bisa ia rasakan lagi, bahkan mama pun tidak pernah mungkin akan menyahuti keluh kesahnya sampai kapanpun nanti. Dan untuk menutup segala perasaan itu, Aji hanya bisa diam seperti lalu-lalu. Menikmati segala perasaan sesak, untuk dirinya sendiri.
"Awas nanti keluar jin."
Ketika perasaan sendu sudah berada di puncak klimaks, ditambah suasana hening nan tenang yang seolah juga mendukung kerinduan hati, entah muncul darimana tahu-tahu Abang datang membuyarkan segalanya. Termasuk kesedihan yang beberapa waktu lalu sempat hinggap, kini langsung pergi hilang melebur begitu saja.
Aji menautkan alis. "Apa deh?"
"Kenapa, sih?" Yang lebih tua malah bertanya pula.
"Apanya?"
"Dari tadi kamu tuh ngapain? Siang bolong begini malah bengong-bengong di bawah pohon mangga," marah Loka tak mengerti jalan pikiran Aji. "Ketempelan berabe juga."
Untuk sejenak dahi Aji mengkerut serius, tapi kemudian dia menyengir. "Cieee, Abang perhatiin aku, ya?" katanya penuh percaya diri, lantas malah tergelak sendiri.
Loka menautkan alis. Bukankah normal kalau dia mengkhawatirkan adiknya sendiri? Kecuali kalau dirinya mengkhawatirkan Gama atau Alisha secara berlebihan, baru adiknya itu bisa merasa aneh.
"Apa, sih? Pede banget." Loka bersidekap dada kini. Sebelum akhirnya laki-laki yang menenteng plastik belanjaan itu jadi melotot lebar, dan dengan sigap langsung membentuk sikap kuda-kuda. Karena sepertinya, dugaan Loka kalau Aji sudah ketempelan penjaga pohon mangga itu benar adanya. Bukti nyata sudah ada.
"Aku emang dipenuhi oleh kepercayaan diri."
Loka tak kuasa untuk tidak menjulurkan lidah keluar, mual sendiri. "Bantuin yang lain sana gitu. Malah ngapain, sih, di sini?"
"Aku lagi semedi, mencari cara untuk menjadi anime," jawab Aji lempeng.
Yang lebih tua hanya bisa dibuat mendecak, sungguh bingung bagaimana berkata. Lantas tanpa persetujuan lebih dulu, Loka menyeret lengan Aji untuk segera pergi dari sana. Belum sehari di dekat pohon mangga, adiknya sudah aneh begini.
Membuat Aji mau tak mau mengikuti si kakak, walau tampak kewalahan menyamakan langkahnya yang lebar.
"Abang ini kenapa, sih??!!" Aji jelas mencak-mencak. Apalagi ketika dia hampir tersandung akar pohon mangga dan Abang masih menggenggam tangannya dengan begitu erat, dia benar-benar emosi.
Loka menoleh cepat, pun alisnya terangkat. "Kamu yang kenapa. Abang mah baik-baik aja nggak kenapa-kenapa, alhamdulillah jiwa dan raga sehat walafiat," katanya.
"Abang nggak jelas banget deh."
Ketika kaki Aji baru ingin melangkah ke dalam rumah, sosok tinggi Rui Inka muncul dengan tangan berkacak pinggang galak. Detik berikutnya Aji jadi melangkah mundur kembali ke sisi Abang, mencari perlindungan karena nyalinya yang mulai menciut.
"Bagus, baguussss," kata Inka manggut-manggut kecil. "Bagus lo berdua cuma leha-leha aja. Yang lain pada sibuk kerja sana-sini, situ malah enak-enakan nyantai. Bagus!"
Layaknya seorang kakak paling tua, Inka pandai memanfaatkan posisinya. Apalagi dia memiliki empat adik manis yang salah satunya adalah Loka, semakin senang Inka berada di posisi kakak paling tua.
"Dih? Gua baru balik dari beli tepung. Sok tau banget." Loka sewot, semena-mena meletakkan plastik bening itu ke depan wajah Inka tepat. Yang mana langsung ditepis kasar oleh gadis itu.
"Aku- aku habis ngobrol sama bunga!" Aji juga berniat membela dirinya. Tapi ketika Marvel yang bersandar pada pintu itu tergelak kencang, Aji jadi ragu-ragu bila pembelaan ini benar. Walau sebenarnya kalimat itu juga terdengar aneh di telinganya sendiri.
"Ngobrol, kok, sama bunga." Loka pun tak kuasa untuk tidak terbahak-bahak.
Tawa keduanya siang itu kontras sekali dengan Inka yang malah semakin sangar dan datar, seolah memberitahu bahwa bukan saatnya untuk bercanda. Tapi apa boleh buat, jiwa receh Inka tidak bisa dibohongi saat Lian tiba-tiba menyahut.
"Kemarin malah Mas Aji ngobrol sama Tono Tini pas akuariumnya dikuras papa, ditanyain mau minta kue lapis atau enggak," katanya bercerita, persis berdiri di sebelah Marvel yang kini sudah berjongkok memegang perutnya yang melintir karena kebanyakan tertawa.
"Terus terus?" tanya Marvel di sela-sela tawanya.
"Mas Aji dicampakin Tini, terus Tono malah nggak peduli sama sekali."
Mendengarnya Aji mendengus, memori menyedihkan itu lagi-lagi harus ia ingat. Bahkan ikan-ikan saja bisa menolaknya. "Ini malah bahas apa, sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Serangkai Kata [New Version]✓✓
FanfictionSelamat datang di rumah Gumilang Bersaudara. Keluarga yang katanya keluarga cemara, ceria dan harmonis tiada tara. Mereka pemenang kategori keluarga paling idaman saat lomba 17an tahun kemarin, atas hasil voting warga satu komplek. Padahal penghuni...