03. Curhat Bersama Papa Sano

418 58 61
                                    


Sabtu sore hari itu Loka duduk di depan TV, memandangi acara masak dengan bosan. Dia sudah lelah berkomentar. Hapenya sejak tadi berbunyi tak henti-henti, tapi Loka tidak peduli. Anak-anak komplek tadi ribut mengajak nongkrong di pos ronda mau mabar game.

Karena anak-anak kuliahan yang mumpung lagi liburan itu memang butuh hiburan. Tapi Loka terlanjur malas keluar.

Walau sekarang di rumah juga sepi karena dua adiknya pergi ada kegiatan sendiri. Aji pergi latihan futsal meskipun liburan sekolah masih lama, sementara Lian pergi ke rumah temannya mau main.

Sekarang Loka jadi bingung mau ngapain.

Biasanya dia gangguin adik-adiknya.

Rumah tanpa Aji dan Lian ternyata sepi juga.

Loka menghela napas, melihat ke dapur. Papa ada di sana memakai celemek berwarna merah maroon, hadiah dari Lian tahun lalu. Karena kalau pulang cepat begini, papa memang lebih suka ngotak-atik dapur untuk eksperimen makanan. Papa bisa betah di sana selama berjam-jam.

"PAAPAAA," panggil Loka nyaring benar-benar mati kebosanan, menoleh melihat Papa yang tidak peduli dan tetap asik dengan pisaunya.

Loka mendecak, mematikan TV tidak tertarik. Laki-laki itu melempar bantal di pangkuannya kemudian berdiri, dia ngulet sebentar sebelum berjalan menghampiri Papa di dapur.

Hm, Loka sebenarnya bingung. Kenapa papanya itu hobi banget masak. Padahal daripada capek-capek masak, Papa mending tidur habis pulang kerja begini.

"Pap," panggil Loka setelah duduk di kursi mengamati papanya yang sibuk mondar-mandir, kemeja kerja masih menempel di tubuh Papa.

Papa menoleh singkat. "Hm? Kenapa?" Lalu kembali melanjutkan memotong wortel setelah selesai masak telur gulung.

Sementara Loka hanya menggeleng. "Enggak apa-apa," katanya kemudian nyomot sepotong timun yang belum dikupas.

Papa tak banyak protes, sudah biasa direcoki anak-anaknya. "Kamu di rumah aja, Bang?" tanya Papa melihat si sulung yang sedang cap cip cup menunjuk piring.

"Iya. Emang mau ke mana?"

"Tadi kayaknya Papa lihat anak-anak cowok ada di pos ronda. Tumben kumpul di sana? Biasanya di rumah Winata. Abang nggak ikutan?"

Alis Loka menekuk berpikir. "Lah iya, tumben di sana."

Loka baru sadar kenapa Yutaka—salah satu anak komplek, yang juga kakak tingkatnya di kampus—sejak awal ribut mengajak kumpul di pos ronda, bukannya rumah Winata yang memang biasa jadi basecamp mereka.

"Mau tebar pesona kali sama anaknya Pak RT," ucap Loka menebak.

Papa menoleh sekilas. "Alisha, kan, masih SMP, Bang."

Membuat Loka nyengir.

"Kamu nggak ikut main, Bang?" tanya Papa lagi.

Ini papanya ngusir secara halus apa gimana, sih?

"Enggak, Pa, Abang males. Abang lagi galau," kata Loka lebay.

"Kenapa? Ada apa lagi sama gebetan kamu itu?"

Loka mendengus, Bapak Sano ternyata sudah hapal.

"Udah lama, masih gebetan aja, Bang? Nggak ada kemajuan?" tanya Papa kalem.

Tapi Loka langsung batuk-batuk merasa tertohok. "Ya, gimana, ya, Pa. Abang malu mau deketin, tapi Abang udah terlanjur suka. Jadi cuma bisa diem aja."

Papa membuka bungkus nori, lalu meletakkan nasi dan bahan-bahan lain di atasnya. Setelah jadi satu roll gimbap, Papa baru berkata lagi.

"Kalau suka itu diperjuangin dong, Bang. Jangan dianggurin doang dari jauh. Keduluan orang nanti baru nyesel."

Loka manyun, Papa itu kalau bicara kenapa selalu menohok, ya?

Tapi berikutnya Loka jadi menghela napas panjang, galau sendiri memikirkan.

"Dia kayaknya nggak suka Abang deh, Pa. Tau Abang hidup aja kayaknya juga enggak," kata Loka ngenes, memutar-mutar jarinya di atas meja.

Papa menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Bahkan gerakan pisau Papa sampai berhenti. "Makanya berjuang Bang, jangan diam di tempat aja. Siapa tau kalau Abang gerak nanti bakal dilirik. Abang, kan, ganteng."

Papa memainkan alis menggoda si sulung, tapi Loka hanya melengos sebab sudah terlanjur pesimis dengan perasaannya.

"Tapi gimana, ya, Pa. Dia gerak dikit aja langsung jadi pusat perhatian, makanya Abang suka minder kalau mau deketin," ucap Loka mengingat si primadona kampus itu.

Ini kalau ada Aji, pasti sudah dilempari bantal saking gemesnya.

Laki, kok, banyak alasan.

"Lagian, kayaknya Abang nggak mau cinta-cintaan dulu deh. Abang mau fokus kuliah terus cari uang yang banyak, terus hidup diselimuti kekayaan," katanya serius. "Cita-cita Abang masih tetep pengen punya jet pribadi."

Papa mengangkat alis. "Uang Papa udah banyak, Bang."

Iya, uang Papa banyak, soalnya ngirit. Padahal kerja dari pagi sampai petang, kadang masih harus lembur. Tapi, Papa tidak pernah memakai uangnya sendiri.

"Ya, itu, kan, uangnya Papa. Abang malu lah kalau udah gede masih minta Papa." Anak itu bersungut-sungut.

"Terus? Abang mau kerja sampai tipes lagi kayak dulu?" tanya Papa mengungkit lagi, padahal itu sudah kejadian tahun lalu.

Lagipula dia tipes juga karena sudah sakit dari awal, bukan karena kerja.

"Tujuan Papa kerja cari uang, kan, emang buat kebutuhan anak-anak Papa," kata Papa melanjutkan. "Ngapain malu buat minta? Uang Papa itu uang anak-anak Papa juga."

Hm. Ini kalau ada voting pemilihan bapak terbaik, Loka pasti langsung pilih Papa tanpa pikir panjang.

"Pap," panggil Loka.

"Hm?"

"Papa nih udah ganteng, awet muda, pekerja keras, family man, baik, keren, lemah lembut juga," kata Loka tiba-tiba memuji. "Terus apa lagi, ya?" Dia berpikir serius.

"Apa? Mau apa kamu, Bang?" Tapi Papa malah waspada.

Loka nyengir mencurigakan. "Papa nggak mau cari istri lagi?" tanyanya enteng, Papa sampai hampir mengiris jari saking kagetnya.

"Enggak," tolak Papa panik sendiri.

"Serius?" Kini jadi Loka yang menggoda mengerling pada sang papa.

Karena kalau dipikir-pikir, Papa betah juga hidup sendiri selama ini tanpa istri.

"Adek kamu itu bisa marah besar, Bang, kalau Papa nikah lagi. Jangankan nikah, kemarin aja pas Papa keluar sebentar sama temen kerja Papa, adek langsung ngambek nggak mau ngomong sama Papa seminggu," kata Papa terkekeh sambil geleng-geleng, terkekeh kecil.

Loka manggut-manggut mengerti. Dasar Lian. "Berasa papanya dicuri, sih, kalau Lian mah."

"Makanya, pasti bakal ngamuk nanti itu adekmu. Lagipula Papa juga nggak ada niatan mau nikah lagi, sih."

"Kenapa? Kalau Papa mau bilang aja. Biar Abang nanti yang ngasih pengertian ke adek-adek," kata anak itu enteng, menopang dagu menatap papanya yang melihat dirinya sudah malas.

"Enggak, Bang." Papa menghela napas. "Mending Abang tanyain adek-adek pulang jam berapa."



"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Serangkai Kata [New Version]✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang