"Tau nggak, aku tadi abis makan ramen kan di marugame, terus baliknya ditraktir ice cream. Gila gila, full banget."
Jeno cuma ngangguk kecil, ngebuka pintu belakang buat nyimpan tas miliknya juga barang bawaan Nana yang selalu berlebihan.
Dia juga nggak paham kenapa anak kesehatan selalu ngebawa tas ransel super besar, beserta tote bag yang selalu terisi penuh, jangan lupakan buku-buku tebal dalam pelukan mereka.
Sementara dia cukup dengan ransel berisi dua binder dan beberapa makalah jika memang ada tugas hari itu.
"Terus ya, luv, aku Mark kan mau nembak Echa tuh, kita udah siapin surprisenya. Eh, dia dengan bodohnya keceplosan dong!"
"Oh ya?"
"Iyaaa!" gadis itu berbalik, menatap Jeno yang udah ngambil tempat di balik kemudi.
"Jadi, surprisenya gagal tapi Mark tetep beliin kita ice cream soalnya Echa nerima dia."
"Seatbeltnya, sayang."
"Oh iya, maaf lupa."
Tangannya bergerak lincah, memasang seatbelt demi keamanan dalam berkendara, Jeno menyalakan mesin mobil, mengeluarkan dari parkiran yang sudah lumayan lengang.
"Aku muter musik ya, luv."
"Iya."
"Eh, spotify aku masih connect."
Nggak lama kemudian suara Lauv menggema, Nana ikut bernyanyi pelan, membiarkan mobil diisi oleh alunan yang bersumber dari speaker.
"Besok kamu ikut demo nggak, luv?"
"Nggak tau."
"Mending nggak usah deh."
"Hm?"
"Soalnya yang didemoin konteksnya belom jelas, takut ada apa-apa gitu."
"Iya, liat nanti."
Pandangannya kembali mengarah pada jalanan yang mulai macet menjelang jam pulang kantor, mobil dan motor memadati kiri kanan membuat laju mereka terpaksa harus memelan.
"Kenapa ya, kok bisa macet?"
"Karena terlalu banyak kendaraan dan keegoisan pengendara."
"Padahal kan ada opsi naik kendaraan umum."
"Besok mau naik bus?"
"Why not? Kita bisa berkontribusi untuk mengurangi polusi walau cuma sedikit. Soalnya kasihan banget, bumi udah tua dan manusia masih terus menjajahnya."
Nana dan rasa empati serta sosialnya yang sangat tinggi. Jeno nggak heran pas gadis itu dengan ceria mengatakan bergabung bersama relawan hijaukan bumi yang dibentuk oleh kampus.
Gadis itu juga dengan senang hati menunjukkan gelang yang diberikan oleh unicef sebagai ucapan terima kasih karena sudah menjadi penyumbang tetap untuk kelestarian alam.
"Jen, Jen, tau nggak, aku dikirimin surat sama anak asuh aku di Afrika. Dia bilang makasih banyak karena apa yang aku lakukan bisa bikin dia tetap sekolah dan hidup sehat sampai sekarang. Terus, aku juga dikasih foto sama lukisan dia. Aku seneng banget. Sampe nangis."
Jeno nggak menanggapi, matanya sesekali melirik Nana yang masih semangat mengelurkan ceritanya.
"Satu lagiii! Tadi aku praktikum diawasin sama Kak Chelsea kan, dia ngajak aku juga buat ikutan ngajar anak jalanan besok, aku excited banget. Nanti, aku mau ngumpulin buku-buku dulu. Kamu ada nggak luv?"
"Iya, nanti aku cari."
Gadis itu masih berceloteh dengan riang, mengatakan semua hal yang terlintas begitu saja dalam benaknya, membuat Jeno kadang ketawa, senyum dan ikut berempati untuk semua hal yang dia kisahkan.
"Sayang."
"Yaa?"
"This is gonna sound cheesy. But, I love when youre talking about this or that with happy face."
"What?"
"Aku suka denger kamu cerita soalnya kamu pasti bahagia banget dan aku suka liatnya. I really want to kiss you."
"PLEASE?"
Jeno tertawa, mengelus rambut kekasihnya dengan lembut.
"Aku selalu nunggu momen pulang bareng kayak sekarang soalnya aku pasti bakal liat senyum kamu."
"Stop. Ini bener-bener chessy. Bukan Jeno banget."
"I told you already."
***