"Aku gendutan nggak sih?"
Jeno memilih diam soalnya kalimat itu memiliki dua makna, antara beneran nanya atau hanya butuh validasi.
"Kata Hanif aku gendut banget. Mana lagi break out parah."
"Hanif siapa?"
"Ketua kelas aku."
"Bilang apa dia?"
"Nana, kok lu gendutan sih? Makan mulu ya? nggak dikontrol makannya? Itu jerawat banyak banget."
"Nggak ah. B aja."
Nana masih berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang berjerawat di beberapa titik.
Pipi, kening, dagu juga hidung. Ngebuat rasa percaya dirinya merosot turun.
"Tapi ini jerawatnya parah banget tau, Je."
"Nanti juga ilang sendiri, biasanya kan emang gitu."
Memasuki masa-masa menstruasi, hormonnya emang jauh lebih aktif dari biasanya, membuat produksi minyak di wajahnya berlebihan sehingga menyebabkan jerawat yang cukup parah.
"Tapi aku jelek."
"There's nothing wrong with you."
"Bohong."
Jeno menyerah, cowok itu ngelempar ponselnya ke atas kasur sebelum berdiri di belakang kekasihnya, menatap sermin setinggi badan yang memantulkan tubuh mereka.
"Berat badan kamu berapa?"
"Lima puluh ..."
"Idealnya?"
"Segitu ..."
"Berarti?"
"Ng ... biasa aja."
"Jadi ... kamu gendutan apa enggak?"
"Hm ... ideal ..."
"Ini tanggal berapa?"
Matanya melirik kalender di meja, ada gambar bulatan berwarna merah di sana yang membuat dia mengerutkan kening.
"Dua puluh."
"Ada apa di tanggal dua puluh?"
"Pra-menstruasi."
"Jadi, kamu jerawatan karena?"
"Hormon ..."
Gadis itu berbalik dengan bibir cemberut, menatap Jeno yang menyilangkan kedua lengan di depan dada.
"Tapi ..."
"Apa? Kalo si Hanif ngomong macem-macem bilangin suruh temuin aku di kantin. Ngomong sama aku. Beraninya kok sama cewekku."
"Aaaa. Hehehe. Love you"
***
