Nana masih menyembunyikan tubuhnya yang panas didalam selimut, ponsel dilempar jauh-jauh karena radiasi membuat kepalanya lebih kliyengan.
Bodo amat pada perutnya yang bergemuruh karena lapar, kepalanya beneran pusing, kayak ditiban benda seberat dosa-dosanya.
"Wih beneran sakit."
Bola mata gadis itu berotasi malas saat suara yang udah sangat dikenalnya memasuki indera pendengaran.
"Sakitnya dari kapan?"
"Abis ujan-ujanan kemaren."
Jeno—sebut saja kekasihnya—melipir ke dapur kecil di kamar kost Nana, menuangkan bubur Bandung yang dia beli sebelum ke sini.
"Makan dulu, ada obat gak?"
"Gatau, pusing banget."
Sudut mata yang sudah berair membuat Jeno menyerah, tangannya terulur membantu Nana untuk bangun dan makan sedikit.
"Dah ah," katanya setelah menelan lima sendok, "Kayaknya ada Paracetamol deh Jen, di laci."
Jeno beranjak, membuka nakas paling atas dan memberikan obat pada kekasihnya.
"Tiduran lagi sana."
Nana menurut setelah menelan satu butir obat, kepalanya diusap pelan, dia bisa merasakan Jeno menghapus titik keringat di keningnya dengan tissue basah sebelum benar-benar terbuai mimpi.
"Cepat membaik, sayang!"