#14

1.2K 125 5
                                    

Dulu, kalau ditanya apa harapan Jeno untuk hari-hari yang akan datang, dia butuh berpikir setidaknya lima menit sebelum menjawab

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dulu, kalau ditanya apa harapan Jeno untuk hari-hari yang akan datang, dia butuh berpikir setidaknya lima menit sebelum menjawab.

Nyebutin semua hal dari a sampai z yang bahkan masih belum cukup.

Pria itu punya banyak harapan, punya banyak mimpi, punya banyak cita-cita yang ingin diwujudkan.

Lulus kuliah dengan nilai yang baik lalu bekerja di kantor yang bisa menggajinya biar nggak melulu minta ke mama papa dan masih banyak hal yang dia tulis dalam catatan harian.

Tapi, beberapa tahun selanjutnya, Jeno mulai berpikir tentang harapan itu sebenarnya apa sih?

Sesuatu yang dia inginkan, kan? Sesuatu yang baik dan diangankan terjadi entah kapan.

Terus, kenapa dia mikir lama banget pas ditanya harapannya apa?

"Kenapa sih kamu?"

Kalau yang dia harapkan sudah berdiri di depannya, dalam bentuk perempuan muda yang keningnya mengerut, menatapnya sedikit cemas.

"Jen?"

"Iya, aku tadi ngelamun."

Namanya Naya, Jeno kenal gadis itu pas mereka sama-sama jadi asisten dosen. Sebenernya, Naya asisten laboratorium sih.

Mereka sering ketemu, entah disengaja atau tidak tapi jalan mereka tak jarang bersinggungan.

Seminar, kelas, kursus bahkan kedai bubble tea favorit Naya juga ternyata langganannya.

Lalu, entah siapa yang memulai, tiba-tiba mereka sudah saling berbagi cerita.

Naya jadi penumpang tetap motor Jeno kalau kuliah mereka kelarnya barengan dan Jeno selalu jadi tamu tetap di kos Naya kalau gadis itu sedang bereksperimen dengan dapur.

Cerita-cerita tentang keluarga mengalir dari mulut mereka.

Tentang Naya si anak tunggal yang nggak pernah jauh dari keluarga, tiba-tiba harus ngekost di luar kota.

Atau, Jeno dengan keinginan merantau yang tinggi tapi nggak pernah dapet restu.

Atau, di lain waktu, motor Jeno membelah macetnya ibukota dengan episode lain dari kehidupan Naya yang menarik untuk didengar—atau, Jeno emang cuma pengen dengerin suara Naya doang.

Kemudian, waktu perpisahan itu akhirnya datang dalam wujud wisuda. Jeno cuma bisa ketawa pas Naya nangis-nangis di bahunya, soalnya diam-diam dia daftar kerja di kota kelahiran Naya.

Gadis itu nggak perlu tau, kan?

Jeno bakalan seneng liat raut kagetnya nanti kalau dia berkunjung ke rumah Naya.

Rumah berlantai dua yang didominasi kayu dan banyak pepohonan yang mengelilingi, soalnya letaknya di kaki gunung banget.

"Jen? Mikirin apa sih kamuuu?"

Tangannya meraih pinggang Naya dalam pelukan, membuat perempuan itu makin kebingungan.

"Jenooooo!"

"Aku inget sesuatu."

"Hmmm?"

Anak-anak rambut di kening Naya disingkirkan lembut, matanya mencari bola mata yang berpendar hangat di bawah lampu kekuningan.

"Dulu, aku sering banget ditanya, harapan ke depannya gimana? Apa yang mau kamu raih? Dan banyak lagi."

"Laluuu?"

"Waktu itu, aku jawabnya panjaaaaaang banget, soalnya apa salahnya punya banyak harap kan?"

"Iya sih," Naya setuju, "Tapi, banyak harap juga banyak luka."

"Betul, makanya sekarang kalo ditanya harapanku apa, aku jawabnya nggak perlu mikir lagi."

"Emang apa?"

Bibirnya menarik simpul manis, mempertemukan pandangannya dengan mata Naya yang duduk di pahanya.

"Tebak."

"Apa sih ah kok main tebak-tebakan gini?"

Wajah perempuan itu dirangkum hangat, membuat rona merah muncul di pipi bulatnya.

"Harapanku cuma satu, semoga Naya selalu dalam keadaan sehat dan bahagia karena bahagianya Naya juga bahagiaku. Mungkin, bagi dunia, Naya itu bukan siapa-siapa. Tapi, bagi aku, Naya itu duniaku."

Naya nggak sempat merespon, otaknya beku saat Jeno mempertemukan bibir mereka dalam satu kecupan panjang yang diakhiri lumatan lembut.

"Jeno ..."

"Aku sayang Naya, terima kasih sudah ada di sini ya?"

***

haranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang