"Anjinglah!"
"Eh eh mulutnya! Kutabok nih!"
Nana melotot kaget saat Jeno menendang ban motornya yang sengaja dikempesin, dia tau banget siapa pelakunya, udah pasti salah satu anak bahasa yang tadi dia ajak ribut di kantin.
"Beraninya main belakang, awas aja ketahuan, gue abisin."
"Nggak boleh gitu, Jen. Dendam dibalas dendam mana abisnya sih."
"Tapi nggak gini cara mainnya, anjing banget. Awas aja, besok gue cari sampe ketemu!"
"Gampang banget sih ngomong kasar gitu. Nggak enak didenger."
"Gue nggak ngomong ke elu."
"Tapi aku yang denger!"
Cowok itu menarik napas panjang, duduk di atas bangku beton yang nggak jauh dari tempat parkir, diikuti Nana yang ngebawa tas juga totebagnya. Jeno sedang berbicara entah dengan siapa di telepon, membuat Nana diam dan hanya merhatiin.
"Iya bang, di sekolah. Lu jemput aja pake pick up, gue pulang duluan, kuncinya gue bawa ke bengkel nanti sore."
Setelah percakapannya berakhir, cowok itu noleh ke Nana yang masih nunggu dengan sabar.
"Apa? Ngapain masih di sini? Pulang sana."
"Kan kamu bilangnya jangan pernah pulang sendiri ..."
Sejak masuk SMA yang sama, Jeno emang rada protektif terlebih sejak Nana abis diculik dua hari pas SD, orang tua gadis itu ngerasa jauh lebih tenang kalo ada Jeno di sampingnya, padahal Jeno bengalnya minta ampun.
"Hadeeh."
Bibir Nana tercebik, lagian bukan maunya juga kan, orang dia bisa kok pulang sendiri tapi nggak mau diomelin mama aja pas tau nggak ada Jeno yang ikut.
"Yaudah pake gojek aja. Gue nungguin dijemput."
"Kan aku bawa sepeda."
"Anj—"
"Enggak boleh cursing lagi loh, Jen."
Jeno menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya pelan, "Sepeda lo dimana?"
"Di parkiran belakang."
"Ayo."
Cowok itu mengekor di belakang Nana, masih mengumpat dengan pelan siapa-siapa yang berkomplot untuk ngerusakin motornya, liat aja besok, Jeno bakal bikin perhitungan.
"Ini, Jenooo!"
Sepeda kuning dengan keranjang di depan, seperti sepeda ibu-ibu ngebuat Jeno mendengkus, Nana telaten ngelepasin rem yang menahan agar dia bisa ngeluarin dari parkiran.
"Ayo, pulang."
"Lo duluan aja, gue buntutin pake taxi."
"Ih berdua aja, kamu boncengin."
Mulut Jeno terbuka lebar, menatap Nana dan sepedanya bergantian. Yang bener aja? Jeno seringnya pake motor sport sekarang disuruh ngebonceng pake sepeda, punya keranjang lagi. Mau taro mana muka cakepnya?
"Nggak usahlah, Na. Gue pake ojol."
"Ih, hemat tau!"
Gadis itu naro tasnya di keranjang sebelum ngeluarin sepeda, "Ayo, Jenoooo."
"Na ..."
"Cepet, panas banget ini."
"Na ..."
"Berisik Jeno!"
Dia akhirnya nyerah saat Nana narik lengannya dan minta dia buat naik ke sepeda, disusul beban berat di belakang.
"Yukk!"
"Na ..."
"Ih ayoooo, kayuh. Kita pulaaaang!"
Nggak mau berdebat lagi, Jeno akhirnya mengayuh sepeda Nana keluar dari sekolah, sedikit bersyukur karena udah sepi jadi nggak ada yang perlu liat dia kayak gini. Malu banget anjir, masa iya preman sekolah sekarang make sepeda ibu-ibu?
"Enak kan anginnya?" Nana berteriak kecil, yang dijawab anggukan, soalnya kalo nggak dijawab, gadis itu pasti bakal ngulang pertanyaannya terus menerus.
Sebuah tangan melingkar di pinggangnya saat mereka memasuki gang yang cukup sempit, jalan pintas untuk sampai ke rumah, mereka biasanya lewat sini kalo udah telat.
"Na."
"Takut jatuh hehe."
Jeno berdecak, tapi nggak ngelepasin pelukan Nana di perutnya, sementara gadis itu udah sibuk berceloteh tentang banyak hal, termasuk kenapa Jeno bisa hobi banget berantem dan balapan padahal kan itu dampak negatifnya jauh lebih banyak.
***