Ruth tersenyum ketika melihat Jonathan dan Jane makan dengan sangat lahap seraya bersenda gurau atau mengobrol. Sudah dua hari suasana rumah ini, tak kalah dari kuburan. Hening, menyeramkan, tak ada yang berani berkutik sedikitpun. Namun, hari ini, hal yang membuatnya betah bekerja dengan keluarga Wilson selama 10 tahun kebelakang, kembali seperti semula.
"Ruth?"
"Ya, Tuan?"
"Aku minta maaf karena marah padamu kemarin. Sungguh, aku tak bermaksud tak sopan kepadamu," ucap Jonathan.
"Tidak apa-apa, Tuan. Saya mengerti."
Ruth sudah menganggap Jonathan seperti anaknya sendiri. Jika masih hidup, mungkin anaknya sudah sebesar Jonathan.
"Ayah, besok aku akan lembur karena ada pekerjaan yang mengharuskanku ke pengadilan. Tidak apa-apa, 'kan?"
"Lembur lagi?"
Jane mengangguk. "Sedang banyak kasus berat di Indonesia. Otomatis aku juga akan ikut sibuk karena seniorku melimpahkan pekerjaannya kepada junior."
"Jam berapa kau pulang?"
"Um, sembilan?"
"Nope! Batas waktu untuk lembur hanya sampai jam 8 malam. Lewat dari itu, kau bisa menuntut perusahaan itu."
"Come on, Dad! I'm working at law office, not your company," sahut Jane.
"Justru karena kau bekerja disana, seharusnya mereka lebih mengerti aturan pekerja. Bukan begitu?"
Jane mendecak. Sulit sekali rasanya menang ketika berdebat dengan ayahnya itu.
"Setelah makan, kau datang ke ruang kerjaku. Aku harus membicarakan tentang hal bodoh yang sudah kau lakukan itu."
Jane mendengus pasrah. "Baiklah."
Beberapa waktu setelah makan tadi, Jane mengikuti apa yang diperintahkan oleh Jonathan tadi. Ia tak ingin buang waktu. Ia akan menerima apapun yang menjadi keputusan sang ayah.
"Ayah?"
"Hm. Masuklah," titah Jonathan.
Jonathan beralih ke sofa panjang miliknya, lalu menepuk sofa itu pertanda ia menyuruh Jane untuk duduk. Mengerti akan hal itu, gadis itu menuruti. Pria tampan dengan brewok tipis di sekitar dagunya itu membawa Jane ke pelukannya.
"Maafkan aku untuk yang kemarin," ucap Jonathan.
"Kau sudah mengatakan itu berkali-kali, Ayah."
"Aku menyesal marah bahkan membentakmu seperti kemarin. Aku benar-benar kalut."
Mereka terdiam sejenak. Jane ingin tahu apa kelanjutan dari pembicaraan ayahnya.
"Aku tidak ingin kau pergi."
Tepat sekali dugaan Jane. Di dalam hatinya, terbesit kalau Jonathan tak akan mengijinkannya untuk pergi.
"Namun, jika kau tetap ingin pergi, aku akan mengijinkan," tambah Jonathan yang membuat Jane melepas pelukannya, lalu menatap sang ayah.
"Maksudmu?"
"Setelah kupikir, aku tidak boleh menghalangi anakku untuk belajar. Aku yakin mendapat beasiswa di NYU bukanlah hal yang mudah. Kau pasti sudah berjuang mati-matian untuk mendapatkannya," kata Jonathan.
"Ayah..."
"Tapi aku punya beberapa syarat untukmu."
Bodoh sekali, Jane. Dia sudah lebih dulu kegirangan bahkan terharu ketika mendengarnya, padahal ada maksud lain dibalik keputusan Jonathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halcyon
RomanceJane mencintai Julian. Sosok pria yang setara umurnya dengan ayahnya. Tapi, Jane juga mencintai David. Pria yang umurnya sama dengan dirinya. Kemanakah dia harus melabuhkan hatinya?