"Aku benar-benar tidak menyukai temanmu itu!!!" Jane memekik sedetik setelah ia menggeser tombol hijau di ponselnya. Diujung sana, Jonathan menjauhkan sedikit ponsel dari telinganya karena suara Jane.
"Aku belum tuli Jane Wilson."
"Oh, astaga! Aku benar-benar membencinya," ucap Jane lagi seraya mengipas-ngipaskan wajahnya dengan tangan.
"Ada apa memangnya? Bukankah dia pria baik?"
"Pria baik katamu? Cih!"
"Hey, calm down, Little girl. Apa yang terjadi?"
"Ternyata Julian adalah pria yang kutemui beberapa hari lalu. Dan kau tau, Ayah? Dia sangat membuatku kesal bukan kepalang."
"Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu, Jane. Ada apa sebenarnya?"
"Pertama dia membuatku terjatuh diatas aspal. Kedua dia membuat tanganku diperban padahal hanya luka sedikit. Ketiga ak---"
"Tunggu.. tunggu.. terluka? Kenapa kau bisa terluka?"
Shit! Kenapa Jane bisa keceplosan? Batin Jane terus merutuki kebodohannya sendiri.
"I-itu tidak apa-apa. Aku hanya tersandung sedikit."
Jonathan tak buru-buru merespon. Jane tahu kalau ayahnya sedang memikirkan sesuatu.
"Jane, kau tidak menyembunyikan sesuatu dariku, 'kan?" tanya Jonathan pada akhirnya.
"Tidak, Ayah. Kau boleh tanya pada temanmu itu jika tidak percaya."
"Akan kulakukan."
Jane menggeleng tak percaya. Ayahnya ini benar-benar akan melakukan apapun untuk memastikan Jane aman dan baik-baik saja.
"Pokoknya, aku tidak mau bertemu dengan dia lagi. Aku membenci Julian!" kata Jane tegas.
Bukannya marah, Jonathan justru terkekeh. "Hati-hati. Jarak antara benci dan cinta itu sangat dekat. Bisa saja sekarang kau benci, lalu tiba-tiba besok kau jadi cinta padanya."
"AYAAAHHH!!!!!"
Setelah panggilan itu selesai, Jane langsung memutuskan untuk tidur. Ia tiba-tiba kesal sekali dengan Jonathan. Apa dia tidak tahu kalau omongan orang tua merupakan sebuah doa? Bagaimana jika itu benar terjadi? Mencintai Julian? Membayangkannya saja sudah pusing.
Jane kini sudah ada di dalam kelasnya. Hari pertama perkuliahan dimulai. Suasana hatinya sedang baik hari ini. Semoga saja, ia tak bertemu hal yang akan membuat harinya berantakan. Julian misalnya.
Dering ponsel Jane berbunyi dan menampilkan nama David disitu.
"Hallo?"
"Lihatlah ke arah pintu kelasmu," titah David yang refleks langsung diikuti oleh Jane. Pria itu melambaikan tangannya tinggi-tinggi hingga membuat Jane terkekeh.
"Kau sedang apa? Memalukan sekali."
"Seharusnya kau bilang padaku kalau mulai kuliah. Kita bisa berangkat bersama."
"Terima kasih sebelumnya, Dav, tapi syukurlah aku bisa berangkat sendiri. Lagipula aku harus mandiri agar tidak bergantung padamu."
"Wah, aku akan senang sekali jika kau bergantung denganku," kata David.
"Sudahlah lebih baik kau kembali ke kelasmu. Dosenku akan datang."
Belum sempat David merespon kembali, seorang pria datang menghampiri.
"Oh, Dad. Kau masuk kelas sini?" Terdengar suara David dari ujung sana. Jane menyipitkan matanya agar ia bisa melihat siapa yang berbicara dengan lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halcyon
RomanceJane mencintai Julian. Sosok pria yang setara umurnya dengan ayahnya. Tapi, Jane juga mencintai David. Pria yang umurnya sama dengan dirinya. Kemanakah dia harus melabuhkan hatinya?