9. Girlfriend

219 17 0
                                    

"Hi, Nona Jane. Lama tidak mengobrol."

David kini sedang berada di kamarnya. Masih enggan untuk beranjak dari kasur empuknya. Jangankan mandi, menyapa ayahnya pun belum ia lakukan.

"Kemana saja kau, Dav?"

"Kenapa? Merindukanku?"

Jane dari ujung telepon terdengar terkekeh. "Sedikit."

"Wow. How lucky I am. Kau libur, 'kan hari ini?"

"Ya. Bagaimana denganmu?"

"Aku juga. Bagaimana kalau kita berjalan-jalan keliling New York?"

"Boleh."

"Aku akan menjemputmu setengah jam lagi. Sampai ketemu, Jane."

"Ok, Dav."

Setelahnya David langsung semangat untuk mandi, lalu bersiap diri. Julian yang sedang menikmati sarapannya, heran melihat sang anak seperti itu.

"Ayah, aku pergi."

"Hey, kau ingin kemana?"

"Berkencan dengan Jane. Bye, Dad."

David sudah menekan bel apartemen Jane. Ia bersemangat sekali membayangkan menghabiskan waktu seharian bersama Jane.

"Sudah siap?" tanya David setelah Jane keluar.

Jane mengangguk seraya tersenyum. "Tapi kau tidak hanya mengajakku ke patung Liberty, 'kan, Dav?"

David tertawa. "Tidak. Tenang saja. Ayo."

Lelaki tampan itu membawa Jane berkeliling kota New York. Ia mengajak ke Metropolitan Museum of Art, berbelanja di Times Square, dan sekarang ke Central Park. Taman yang sangat luas dan indah di tengah kota.

"Apa kau lelah?" tanya David.

Jane menggeleng. "Aku senang sekali hari ini. Terima kasih sudah mengajakku, Dav."

"Tak masalah, Jane."

Jane menatap lurus pohon-pohon  rindang yang luasnya sejauh mata memandang. Ia tersenyum,menikmati setiap angin yang berhembus di tempat ini.

"Inilah salah satu alasan kenapa aku menyukai New York. Meskipun ini kota besar, tapi udaranya sangat bagus dan pemandangannya pun indah," kata Jane.

"Kau beruntung bisa mewujudkan cita-citamu untuk datang ke kota ini."

Jane mengangguk setuju. "Kalau saja ayahku tidak setuju waktu itu, mungkin aku tidak akan duduk disini bersamamu."

"Apa ayahmu awalnya tak mengijinkan?"

"Ya, tentu saja. Aku adalah anak satu-satunya yang ia miliki. Wajar jika dia bersikap over protective padaku."

"Lalu apa yang membuat akhirnya ia mengijinkan?"

"Entahlah. Mungkin karena ayahmu."

"Ayahku? Apa hubungannya?"

"Ayahmu tidak cerita apa-apa tentang diriku?"

"Tidak. Ada apa?"

"Ayahku adalah sahabat baik Julian. Maaf aku tak menyebutnya Mister karena ia tidak mau dipanggil itu," kata Jane. "Ayahku meminta Julian untuk menjagaku selama disini dan sepertinya dia setuju," lanjutnya.

"Woah, benarkah? Jadi kau sudah mengenal ayahku sebelumnya?"

Jane menggeleng. "Tidak. Kau adalah orang pertama yang kukenal setelah aku sampai di New York. Aku baru tau hal itu saat ayahku memaksa untuk menemui Julian."

"Jangan bilang, lelaki tua yang kau sebutkan itu ayahku?"

Jane menoleh lalu tertawa. "Ya benar sekali. Maafkan aku."

David ikut tertawa mendengarnya. "Kau benar-benar wanita yang langka, Jane. Ayahku itu terkenal sebagai dosen tertampan di kampus. Ia juga seorang pengacara handal yang pasti akan menjadi pemenang dalam persidangan."

"Ya, tapi ayahmu selalu mengolok-olokku, Dav."

"Sudah kuduga. Ia memang seperti itu pada wanita, apalagi kau imut sekali jika sedang marah," kata David. "Yang bikin ayahku tak sempurna adalah dia punya banyak musuh."

"Maksudmu?"

"Beberapa tahun lalu, ayahku pernah memenangkan persidangan dengan salah satu anggota mafia terbesar di New York. Dari situ, hidup kami tidak tenang. Kemana-mana ayahku pasti khawatir karena takut aku bertemu dengan musuhnya."

Musuh? Mungkinkah pria yang bertemu dengan Jane waktu itu adalah musuhnya?

"Bukankah ayahmu bisa minta perlindungan ke polisi?" tanya Jane.

"Tentu, tapi ia tidak mau. Katanya itu hanya menyusahkan saja. Toh selama ini tidak pernah ada yang membahayakannya."

"Apa dia tidak takut?"

"Jelas saja takut. Pengikut kelompok mafia itu sangat banyak. Tersebar keseluruh penjuru New York, tapi ayah selalu bilang kalau ia tidak pernah salah. Ia membela yang benar. Jadi tidak perlu takut akan terluka."

"Wah, aku tidak menyangka Julian seperti itu."

David terkekeh. "Lambat laun, kau akan mengenalnya lebih dalam, Jane."

"Apa ayahku tau tentang ini?"

"Sepertinya tidak. Ayahku tidak pernah menceritakan ini pada siapapun."

"Kenapa?"

"Entahlah."

"Dav, boleh kutanya sesuatu?"

"Tentu saja. Apa?"

"Maaf kalau aku lancang, tapi dimana ibumu?"

David tersenyum. "Aku juga tidak tau. Terakhir aku bertemu dengannya ketika aku masih di sekolah menengah pertama. Selebihnya, aku tidak pernah bertemu lagi."

"Kau tidak mencarinya?"

"Untuk apa? Ibuku saja tidak pernah mau tau bagaimana keadaanku. Kenapa aku harus?"

"Dav, tapi...."

"Jane, kau boleh membahas apapun denganku, tapi tidak tentang ibuku. Membahas itu hanya membuatku semakin membencinya."

"Maafkan aku, Dav."

David tersenyum, lalu mengusap rambut Jane. "Tidak masalah. Kuminta satu hal lagi, boleh, ya?"

Jane mengiyakan.

"Jangan pernah juga membahas tentang ibuku di depan ayah. Ia akan marah besar jika itu terjadi. Bisa, 'kan?"

"Tentu. Seperti yang kau tau, aku tidak akrab dengan ayahmu, Dav."

David kembali tertawa. "Kau pasti akan membutuhkannya suatu saat nanti."

"Kuharap tidak."

David menuntun Jane untuk menghadap padanya. Kini kedua bola matanya menatap gadis itu dengan lekat.

"Jane, mungkin ini terlalu cepat untukmu, tapi aku tidak bisa menahannya lagi," katanya.

Jane masih terdiam.

"Aku menyukaimu. Sejak awal kita bertemu di bandara, aku sudah menyukaimu. Semakin mengenal, aku makin mencintaimu, Jane."

"Dav...."

"Would you be my girlfriend?"

"Dav, kau serius?"

David mengangguk yakin. "Sangat serius."

Jane tak buru-buru menjawab. Hingga akhirnya dia mengangguk setuju. "Baiklah. Aku menerimamu."

"Benarkah?"

"Perlu kutarik lagi?"

"No!" sahut David. "Thank you so much, Jane. I love you," katanya memeluk Jane.

"I love you too, Dav. Rajin-rajinlah ke kampus jika ingin terus bertemu denganku. Aku bosan hanya melihat Alfred disana."

"Baiklah. Akan kulakukan, tapi hingga bulan depan, aku harus pergi ke Swiss karena ada beberapa urusan disana."

Jane melepas pelukannya. "Benarkah?"

David mengangguk. "Iya. Maafkan aku, ya, Sayang. Aku janji setelah pulang, kita akan menghabiskan waktu bersama."

"Baiklah."

HalcyonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang