3. HAIDAR

0 2 0
                                    

Burung bisa terbang karena memiliki...

"Bakat!"

Bendera NKRI warnanya...

"Cuma dua aja."

Kenapa orang makan dengan tangan kanan?

"Karena makanan. Kalau pake tangan kiri namanya makiri. Duh, Pinter banget gue."

Ting!

Suara notifikasi ponsel mengalihkanku dari aktifitas mengisi teka-teki iseng.

+62 857806951xxx: P

+62 857806951xxx: haidar ya?

Aku mengerutkan kening melihat nomor tak dikenal ini.

Haidar: iya, siapa ya?

+62 857806951xxx: tebak dong siapa. Kalo bener ditraktir es krim deh

Haidar: gak tau. Siapa sih?

+62 857806951xxx: tebak dong biar seru

Haidar: G

Haidar: lo dapet nomer gue dari siapa?

+62 857806951xxx: dari ardhi

Haidar: oke, bentar


Haidar: WOI ARDHI!

Ardhi: paan?

Haidar: lo kasih ke siapa aja nomer gue?!

Ardhi: ha?

Ardhi: oh, dia udah chat lo?

Haidar: siapa sih? Temen lo ya

Ardhi: Iya

Haidar: GAJE BANGET

Ardhi: Jangan suka sama dia

Ardhi: pipisnya masih di celana, wkwkwk

Haidar: GAK JELASSS

***


BRAK BRAK!

BUGH BUGH!

Aku yang baru saja dari kamar mandi hendak kembali ke kelas, menghentikan langkah saat mendengar sesuatu yang dipukul. Aku melangkahkan kaki mencari sumber suara itu.

"GOBLOK!"

Aku yang terkejut langsung bersembunyi dibalik tembok. Apaan tuh? Aku kembali mengintip dari balik tembok.

Terlihat beberapa gerombolan cowok berdiri angkuh mengelilingi satu orang cowok yang satu-satunya berlutut.

"Gara-gara lo nilai matematika gue dapet 2!" Satu orang cowok yang membawa doublestick melempari buku pada cowok yang hanya mampu menunduk itu.

"LO SENGAJA, KAN?!" bentaknya lagi. "MULAI NGELUNJAK LO, HAH?!!"

Si cowok yang satu-satunya berlutut itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan semakin menundukkan kepala dalam-dalam.

"GAK BECUS LO, GOBLOK! GAK GUNA!!"

Setelah itu aku tak berani melihat kelanjutannya. Kini yang bisa kudengar suara pukulan dan rintihan minta ampun. Membuatku meringis mendengarnya.

BUGH!

BUGH!

BUGH!

Sepertinya segerombolan cowok itu memukuli tubuh korbannya dengan doublestick yang dibawa.

Gawat, ini pembulian!

Apalagi tempat ini cocok banget menjadi sasaran kenakalan remaja. Sebuah tangga kecil yang sudah tidak digunakan lagi. Di lantai satu sana ujung tangga ini sudah ditutup pagar. Belum lagi berada diantara ruangan-ruangan laboratorium yang jauh dari kelas.

Aku menggigit jari bingung bagaimana cara menolongnya. Tidak ada yang bisa kumintai tolong karena semua sedang KBM di kelas masing-masing.

Apa aku kembali saja ya?

Tidak, tidak. Itu sama saja dengan para pecundang itu. Dengan membayangkan aku sendiri di posisi cowok itu, dipukuli habis-habisan dan tidak ada yang menolong.

Aku bertekad—lebih tepatnya nekat berpura-pura jalan dan tak sengaja melihat mereka. Aku menutup mulutku pura-pura terkejut. "O ow, kamu ketahuan lagi buli orang," kataku sambil nyanyi.

"SIAPA LO?!"

Aku menggelengkan kepala dan membalikkan badan melangkah cepat-cepat yang kemudian menjadi berlari. "WWAAAA..."

"KEJAR DIA!!"

"WAA... TOLOOONG... Aelah, ini beneran yang nolongin gue? Kenapa tiba-tiba sekolahnya jadi luas gini sih. HHUUUAAA..."

Aku berbelok ke kanan. "PPPMH—"

"Diem."

Tiba-tiba saja seseorang menarikku  dan membekam mulutku. Cowok itu melihat dari celah jendela dan mendapati gerombolan tadi berlari melewati kami.

Cowok itu melepaskan tangannya. Aku berbalik untuk melihatnya lebih jelas. Aku melihat sekitar, di UKS ini tidak ada siapa-siapa selain kami berdua.

"Lo gak papa? Kenapa bisa dikejar sama mereka?"

Aku menarik-narik tangannya heboh. "Lo tau gak mereka itu buli orang?!"

Cowok itu mengangguk. "Ternyata rumor itu bener."

"Rumor apa?"

"Lo gak tau mereka itu siapa?"

Aku menggeleng.

"Kemana aja lo selama ini?"

"Ya kayak pelajar biasa. Makan di kantin, tidur di kelas."

"Pinter! Mereka itu Vando sama antek-anteknya. Kakak kelas berandal. Rumornya ya gitu, dia suka buli orang. Namanya juga rumor, gak ada buktinya. Yang anak-anak tahu, itu cuma sekedar rumor biar mereka semakin ditakuti. Jadi masalah pembulian ini gak pernah sampe ke pihak sekolah."

"Tapi ini bukan sekedar rumor. Gue lihat sendiri mereka buli orang!"

Cowok itu mengangguk. "Iya, gue tau."

"Terus kita gimana, dong? Masa kita diem aja?"

Cowok itu terdiam.

"Lo kok diem aja, sih? Jangan-jangan lo komplotan mereka ya?"

"Enak aja!"

"Btw, lo cowok kemarin, ya? Arul, kan?"

"Iya, kenapa semalam lo gak balas chat gue?"

Chat?

Aku memukul lengannya. "Oowh, chat gaje itu dari lo."

Dia menatapku tak terima chat-nya dibilang gaje. "Kayaknya mereka udah gak ada. Gak mau balik ke kelas? Atau mau berduaan aja sama gue disini?" ujarnya sambil menaik-turunkan alisnya.

"Balik ke kelas!" balasku sambil memutar knop pintu UKS. "Lo gak mau balik?"

Arul berjalan ke arah sebaliknya—ke ranjang UKS. "Enggak, gue mau ngadem disini. Males di kelas, lagi pelajaran fisika. Gila aja, gue jauh-jauh ambil IPS ujung-ujungnya malah ketemu fisika juga."

"Sabar, man. Bukan cuma lo doang yang pusing."

"Eh, tunggu—"

Aku yang hendak keluar berhenti saat Arul bersuara.

"Kayaknya besok lo harus pake sesuatu buat nutupi muka lo, deh. Takutnya antek-anteknya Vando ngenalin lo."

Aku membuka mulut. "Mayygaatt, apa gue harus operasi plastik ya?"

BBS (5) : FRIENDZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang