19. HAIDAR

1 2 0
                                    

Malamnya seperti kemarin, aku dan Arul mengecek hasil sadapan yang terpasang pada Hilman. Di ruang tamu rumah nenek hanya ada kami berdua. Nenek seperti biasa istirahat di kamarnya sedangkan Bang Haikal keluar ada urusan di himpunan.

Kami tidak menemukan hal mencurigakan dari aktivitas Hilman lewat alat penyadap.

"Hilman gak mungkin ada hubungannya dengan hilangnya kakak kelas kita."

Aku juga setuju. Hilman gak mungkin sanggup melakukan semua ini. Ini pasti karena keparnoan kami.

BRAK!

Aku tersadar saat mendengar suara gebrakan. Aku menatap sekitar, mencari sumber suara.

"Suaranya dari sini." Arul menempelkan telinganya di ponselku.

BRAK!

Aku turut mendekat. Benar suara itu dari ponselku yang masih terhubung dengan alat penyadap Hilman.

BRAK!

Suara itu semakin menjadi. Disusul derap langkah kaki dan kekehan seseorang. Seperti de javu, ada apa ini? Hilman dalam bahaya, kah?

"TOLONG...''

Suara itu! Itu bukan suara Hilman, tapi suara Kak Vando. Ada apa ini?!

"Heh brengsek! Gue tau lo pasti dengerin ini. Lo pikir gue setolol Vando goblok ini?! Tunggu aja giliran kalian berdua karena udah cari gara-gara sama gue!"

Sekali lagi apa ini? Apa jangan-jangan dia sudah tahu kalau dia sedang disadap?!

"Maksud lo apa?! Jangan cari gara—"

"Gue gak ngomong sama lo bego!"

BRAK!

AAAGGRHH...

Terdengar suara teriakan kesakitan Kak Vando dan kekehan puas seseorang.

Segera aku melacak posisi itu. Mengirimkannya kepada Kompol Mahendra dan grup 'BOEDIMAN'. Aku tidak sempat membuka chat teman-temanku. Langsung kuajak Arul untuk ke lokasi itu.

Ternyata lokasinya tidak terlalu jauh dengan kemarin, masih satu komplek pabrik. Garis polisi di depan gedung kemarin juga sudah dihilangkan.

Di sini sepi, Pak Kompol Mahendra dan rombongan polisi masih belum datang. Sepertinya masih dalam perjalanan. Aku tak tahu teman- temanku diizinkan ke sini atau tidak. Yang pasti Adia tidak akan tinggal diam jika malam ini dilarang lagi. Yeah, semoga saja mereka diizinkan. Berani taruhan, mereka pasti mendapat banyak petunjuk dibandingkan aku semalam.

Aku dan Arul memasuki gedung terdekat. Tidak ada siapa-siapa, hanya ruangan besar yang dipenuhi debu dan kotoran. Kami memilih menelusuri area halaman supaya tidak merusak TKP sambil menunggu rombongan Kompol Mahendra.

"Arul, lihat!"

Aku melongo melihat apa yang kutemukan. Sebuah doublestick yang kukenal kini berlumuran darah.

"Itu kan punyanya Kak Vando."

Aku menahan tangan Arul yang hendak meraih doublestick itu. "Jangan merusak TKP. Nanti sidik jari lo muncul di situ."

Bulu kudukku langsung berdiri dan napasku jadi tidak beraturan. Aku memutar otak, mengapa benda ini ada di sini? Tidak mungkin pelakunya teledor meninggalkan di sini atau semua ini hanya jebakan.

"Hei, kita ketemu lagi."

Suara itu! Aku dan Arul membalikkan badan.

"Welcome to the hell!"

BRAK!

BRAK!

Kurasakan hawa panas dan rasa sakit langsung menjalar di tengkukku. Belum lagi kepalaku terasa berat dan pusing. Sialan! Ternyata semua ini hanya jebakan. Setelahnya, aku tidak tahu apa yang terjadi karena kegelapan telah merajaiku.

BBS (5) : FRIENDZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang