11. ARUL

1 2 0
                                    

Wahai calon kekasihku
Kau bagaikan telapak tangan
Dan aku jari-jarinya

Wahai calon kekasihku
Senyumanmu menyita bagaikan candu
Tolong, aku gak lagi nyanyi
Kan lagi berpuisi

Wahai calon kekasihku
Izinkan kata 'kita' diantara aku dan kau
Seperti halnya sebuah genggaman tangan

Wahai calon kekasihku
Aku ingin menghapus kata 'calon' yang sangat menyebalkan ini
Jadi maukah kamu jadi kekasihku?

"Puisi apaan ini?!"

"Gimana bagus gak? Gue sendiri loh yang buat." Gue memungut kertas puisi yang seenaknya dibuang sama Ardhi. Gue menarik turunkan alis, mengharapkan pujian atas puisi buatan gue ini.

"Jadi lo mau nembak Haidar pake puisi gaje ini?!"

Gue mengusap penuh sayang kertas puisi itu. Kali ini Ardhi selamat meski sudah menghina-dina puisi gue, karena gue lagi happy setengah mati.  "Iya, ternyata Haidar gak punya pacar. Waktu itu abangnya sok ngide ngaku pacarnya. Malam ini adalah timing yang tepat! Gue bakal nembak dia!!" kata gue dengan penuh semangat.

"Kenapa lo buru-buru nembak dia?"

"Lebih cepat lebih baik sebelum kejebak friendzone. Karena friendzone itu... menyebalkan."

Ardhi manggut-manggut dan menepuk bahu gue. "Good luck, bro."

***

Malam yang gue tunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Rasanya kayak pegang mic di depan orang banyak. Deg deg-an parah, tremor abis! Sekali lagi gue lihat bayangan di depan kaca spion. Rambut udah klimis. Baju udah wangi. Bunga udah siap. Tinggal apa lagi ya? Oh iya, otw!

Kita—cailah kita—udah janjian di taman dekat rumah. Gini enaknya kalo tetanggaan. Kira-kira kalau kami pacaran, jadinya pacar lima langkah kali ya.

Gue udah sampe di taman. Gue milih datang lebih dulu. Gak keren bro, kalo ceweknya yang nunggu. Taman di sini gak banyak orang, karena emang gak terkenal-terkenal amat. Palingan cuma dibuat petak umpet sama bocil-bocil. Sayang banget padahal taman ini gak buruk-buruk amat kok. Cukuplah jadi pemandangan atau tempat bermain bagi warga lingkungan rumah gue.

Nah, gue milih taman ini bukannya apa-apa. Tapi untuk menutupi malu kalo seandainya—amit-amit ditolak sama Haidar. Kan gue jadi gak malu-malu amat. Dan katanya cewek gak suka ditembak di depan kalayak ramai.

"Arul."

Gue menoleh ke belakang. Pasti Haidar yang manggil gue. Cengiran gue hilang saat melihat siapa yang manggil gue. "Hah?! Faza? Kok jadi lo!?"

"Apaan sih? Gue cuma jalan-jalan sama anak-anak. Terus gue lihat dari belakang kayak lo. Gue panggil ternyata emang lo."

Gue melongok ke belakang tubuh Faza. Gue menemukan teman-teman yang dimaksudnya lagi antri jajanan, tapi gue gak menemukan Haidar.

"Haidar mana?"

"Haidar? Dia gak sama kami. Katanya ada janjian gitu. Eh, lo bawa bunga. Mau nembak cewek loh ya?"

Gue menyembunyikan bucket bunga dibalik punggung. Detik kemudian, dia melotot dengan tangan menutupi mulutnya.

"Eh, lo akhir-akhir ini deket sama Haidar kan, ya? Jangan-jangan lo mau nembak Haidar ya?"

"Sssttt..." Gue menyuruh Faza diam yang sudah bersorak heboh.

Faza berjalan ke arah gue, tapi sialnya dia gak melihat ke bawah yang ada akar timbul. Alhasil dia jatuh ke depan dan gue refleks menahannya. Saat itu, orang yang gue tunggu-tunggu muncul dari ujung jalan. Dia langsung memalingkan muka dan balik badan.

"HAIDAR!"

BBS (5) : FRIENDZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang