Sepulang sekolah Pak Randy menyuruh kami untuk pergi ke markas garis miring rumah setengah jadinya yang lebih pantas disebut sarang ular. Di sini sudah ada Pak Kompol Mahendra, Pak Randy tidak bisa bergabung karena ada rapat di sekolah. Kami ditambah Pak Kompol Mahendra duduk di sofa usang.
"Lihat nih, apa yang gue temuin siang tadi," ucap Adia heboh sendiri. Dia menyodorkan ponselnya.
Aku memperhatikan foto yang diambilnya. Foto sepatu. "Ck Bos, ini bukan waktunya nge-review sepatu. Besok aja, sama gue deh."
"Heh, gue tuh bukan mau ngajak nge-review sepatu. Ini sepatunya Kak Vando waktu gue nempelin alat penyadap." Dia memperbesar gambarnya. "Lihat, ada bercak merah di pinggirnya. Gue yakin itu darah!"
"Bisa aja itu kena cipratan cat," kata Sita.
"Kalo kecipratan cat, minimal tangan dan bajunya bakalan kena dan warnanya gak mungkin merah doang. Gak mungkin ngecat pake kaki. Cuma sepatunya Kak Vando sendiri lagi, sepatu temen-temennya bersih." balas Adia.
"Bisa aja dia kena catnya di rumah. Kalo misalnya itu darah, setidaknya sepatu temen-temennya pasti bakalan kena juga. Mereka kan pecundang, sukanya main keroyokan," sahut Faza.
"Lagian mereka udah dihukum gak boleh ngebuli lagi," ucap Eliza.
"Eh, tadi Hilman kelihatan aman gak? Ada luka-luka?" tanya Adia padaku.
"Aman, kok."
"Sudah-sudah, tidak ada habisnya kalian bahas jika tidak ada buktinya," ucap Pak Kompol Mahendra yang sedari tadi menjadi pendengar saja. "Coba kita dengarkan hasil alat penyadapnya."
"Setuju, Pol. Langsung cek punyanya Kak Vando!" kata Adia bersemangat. Saking semangatnya lupa dengan permintaan Pak Kompol Mahendra yang melarang keras memotong namanya.
Kami mendengar suara percakapan hasil sadapan dari ponsel Pak Kompol Mahendra. Awalnya hanya percakapan biasa antarcowok. Otomotif, olahraga hingga masalah cewek. Setengah jam kami mendengarkan obrolan gak mutu itu. Hinggap akhirnya ada yang menyebut-nyebut nama Kak Ahmad.
"Ahmad kemana dah, udah seminggu lebih ngilang."
Aku yakin ini suara Kak Alfa. Sebenarnya dia itu baik, tapi sayangnya malah berteman dengan Kak Vando. Kita memang tidak boleh memilih-milih teman. Tapi jika dirasa circle itu toxic dan menjerumuskan, hidup kita sendiri yang memutuskan. Sebelum terlambat dan hancur.
"Kagak tau, gak ada kabar juga," sahur temannya.
"Lo udah cari ke rumahnya, Al?"
"Udah, neneknya bilang sejak kita kumpul hari Minggu lalu dia gak balik ke rumah. Kalian gak ngomongin sesuatu yang bikin dia sakit hati, kan?" tanya Kak Alfa.
"Kayak cewek aja ngambekan." Kekeh seseorang dengan suara sinis. Yang kuyakini pasti Kak Vando.
"Kita harus cari dia," ujar Kak Alfa.
"Gak perlu, kayak anak kecil aja dicari. Nanti juga pulang sendiri," balas Kak Vando dengan nada memerintah.
"Tuh denger, Kak Vando jelas banget gak peduli sama temennya. Baginya dia gak perlu cari Kak Ahmad, kenapa? Karena dia pelakunya. Dia tau Kak Ahmad sekarang dimana, makanya dia gak mau susah-susah cari. Bisa aja dia nyembunyiin Kak Ahmad di suatu tempat dan ini ada hubungannya dengan bercak darah di sepatunya," ucap Adia.
"Lo gak bisa langsung nyimpulin kalo Kak Vando pelakunya, Bos. Ini hanya informasi kecil," sahut Sita.
"Oh, gue tau gimana cara mengetahui si pelaku itu," kata Eliza.
"Gimana caranya?" tanyaku sudah exited.
"Kita tanya Sita, dia kan punya kemampuan precognition."
Kami semua mengangguk semangat menatap Sita.
"Gak bisa, gue gak mendapatkan mimpi apa-apa."
Jawaban Sita membuat kami lesu kembali. Oh iya buat yang masih bingung tentang Sita dan precognition, kalian bisa ngintip di cerita BBS (2) : TETANGGA-ZONE. Sita itu yang paling spesial diantara kami. Ssstt, jangan bilang-bilang aku memujinya, ya. Oke?
"Benar kata Sita, ini tidak bisa dijadikan kesimpulan. Jika benar Vando pelakunya apa motifnya dia ngelakuin ini?" kata Pak Kompol Mahendra.
Benar jika ini tindak kejahatan, apa motifnya?
Tiba-tiba saja aku teringat dengan sosok misterius yang kutemui dari rekaman cctv waktu itu. Buru-buru aku membuka laptop dan menunjukkan rekaman itu pada Pak Kompol Mahendra.
"Saya menemukan rekaman itu dua minggu lalu, waktu yang tertera menjelang sore tepat saat sekolah sepi. Saya menemukannya saat menyelidiki masalah pembulian Hilman. Tempat ini adalah koridor dekat TKP pembulian Hilman. Di sini ada pot bunga gantung yang tingginya sekitar 160 cm atau setinggi saya. Jika ini ada hubungannya, tidak mungkin Kak Vando pelakunya karena dia memiliki tinggi 170 cm lebih. Kemungkinan dia menyuruh orang lain."
Kompol Mahendra memperhatikan rekaman itu dengan seksama. "Darimana kamu dapat rekaman ini?"
"Emm, saya hack cctv sekolah."
Pak Kompol Mahendra mengangguk. "Saya minta rekamannya untuk diselidiki. Sekarang kalian boleh pulang, nanti malam cek hasil sadapannya. Jika ada yang mencurigakan, segera hubungi saya. Jangan bertindak sendiri dan gegabah, mengerti?"
"Siap, mengerti."
***
Malamnya aku dan Arul mendengar hasil sadapan kami. Tunggu, kenapa bisa Arul di rumahku dan mengetahui masalah ini. Tadi Arul ke rumah nenek yang kutempati sekarang untuk menanyakan kondisi kakiku. Aku yang tidak enak membohonginya, akhirnya kuberitahu yang sebenarnya. Bahwa aku harus memasang alat penyadap ke Kak Alfa dan kakiku baik-baik saja.
Tak jauh dari kami, ada Bang Haikal yang lagi kuliah online malam. Nenek sedang istirahat di kamarnya. Kulirik Bang Haikal tidak memperhatikan penjelasan dosennya, melainkan sibuk memandangi Kak Aurum, teman-sekelasnya-yang-cantik-tapi- gak-berani-didekatinya. Katanya, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Zoom meeting sekaligus video call.
Bang Haikal kuliah di jurusan Teknik Informatika. Dia yang mengajariku cara hack. Gak cuma hack cctv, aku juga bisa hack lokasi dan situs. Setelah lulus SMA nanti, aku akan ambil jurusan Teknik Informatika juga. Aku ingin membantai cyber crime yang merugikan orang.
Dari hasil sadapan ini, Kak Alfa masih nongkrong dengan teman-temannya malam-malam begini.
Brooott...
"Hah, suara apa tuh?"
"Lo kentut, ya?" tanyaku.
"Enak aja, enggak ya."
"Bang Ekal kentut, ya?"
"Bukan, jangan ngomong sama gue!" jawabnya tanpa menoleh. Ternyata dosennya sedang mengomel sampai dia tidak berani bergerak.
"Kayaknya suaranya dari sini." Arul menunjuk ponselku yang masih terhubung dengan alat penyadap Kak Alfa.
Aku dan Arul terngikik-ngikik. Ternyata Kak Alfa yang kentut.
Aku tidak bisa membayangkan jika di posisi Kak Alfa, Kak Vando dan temannya yang dipasangi alat penyadap tanpa izin. Dimana aktivitas kita dipantau oleh orang lain, bahkan kegiatan privasi tak terduga seperti tadi. Setelah masalah ini selesai, aku bakalan minta maaf ke Kak Alfa.
Kudengar Kak Alfa berpamitan kepada temannya. Tidak ada suara motor melainkan suara langkah kaki. Sepertinya dia berjalan kaki. Pada awalnya tidak terjadi apa-apa, Kak Alfa berjalan sambil bersiul santai. Namun beberapa waktu setelahnya, langkah kakinya berubah menjadi derap lari dan napas terengah. Tidak hanya suara langkah Kak Alfa saja, tapi ada derap langkah lagi yang terdengar. Disusul suara kekehan yang mengerikan.
"Tolong..."
"Tolong!...." teriak Kak Alfa.
Aku dan Arul saling berpandangan. Seketika suasana di sekitar kami menjadi menegangkan. Ada apa ini?! Apa yang terjadi dengan Kak Alfa? Apa yang harus kami lakukan?!
KAMU SEDANG MEMBACA
BBS (5) : FRIENDZONE
Mystery / Thriller15+ Mengandung unsur gore. *** SPIN-OFF 18.5 Boy n Girls *** Mereka yang berada di zona tak nyaman. Bani Boediman Series (5) : FRIENDZONE Menyatukan beberapa insan mulia yang tak luput dari dosa. *** Misi pertama: Friendzone Garis Besar: sebuah...