6. ARUL

1 2 0
                                    

Gue membawa Haidar ke sebuah kafe yang tidak begitu ramai supaya lebih leluasa membahas masalah Hilman. Gue mengajak ke bagian pojok. Jangan mikir aneh-aneh dulu—ya deh gue ngaku, siapa tau bisa modus, hehehe. Dan jangan ngingetin kalo Haidar udah punya pacar, gue bakal sakit hati banget.

Kafe yang kita sambangi itu unyu banget. Interiornya serba pink dan warna pastel. Jadi sebut saja namanya kafe pinky.

"Permisi, Kak." Seorang waiters cewek menghampiri meja kami. "Ada yang bisa dibantu?"

Karena gak mungkin kami nebeng plus minta WiFi tanpa memberi imbalan, dengan terpaksa gue menjawab. "Menunya apa, Kak?"

Waiters itu memberikan buku menu dan terus nyerocos. "Makanannya ada street food sampai sea food, Kak. Minumannya bisa milih panas atau dingin. Sesuai citra kafe kami yang mengusung tema couple, saya rekomendasikan menu couple kepada kakak yang ganteng dan cantik ini. Ada diskonnya juga."

Gue langsung menutup buku menu. "Yang couple aja."

"Tapi kita bukan—"

"Kakak tau aja kalo kita couple." Gue terkekeh. Waiters itu mengkonfirmasi pesanan dan undur diri.

"Ngapain dah ngaku-ngaku couple segala?"

"Syuuutt, biar dapet diskon."

Tak lama si waiters dateng lagi. Ternyata menu couple yang digadang-gadangnya itu ice cream imut yang langsung menyurutkan emosi Haidar.

"Langsung aja, beneran Hilman yang jadi korban buli? Lo gak salah lihat, kan?"

"Beneran, gue yakin banget."

"Terus lo maunya gimana?"

"Tunggu, sebelumnya gue mau nanya-nanya ke lo." Haidar mengeluarkan buku note kecil dan pulpen.

"Dih, gegayaan lo sok ngide jadi detektif."

"Diem, deh! Jadi gimana kelakuan Hilman di kelas?" tanya Haidar memulai interogasinya.

"Dia pendiem di kelas."

"Pinter, gak?"

"Pinter. Kadang anak-anak manfaatin sifat diemnya buat nyontek PR atau nyuruh dia ngerjain sendiri tugas kelompok."

"Dan lo termasuk?"

Gue berdeham dan mengusap tengkuk. "Enggak, kok."

"Jangan bohong!"

"Ya deh, kadang tapi."

"Hmmm." Haidar meletakkan pulpen dibawah dagunya. "Gue punya tugas buat lo. Gue mau lo mata-matai Hilman dan gue akan cari bukti buat menjebloskan kasus ini ke ruang BK."

***

Kalo bukan karena permintaan bidadari gue, kagak bakal mau gue mantengin Si Hilman. Mending mantengin Lisa Blackpink yang cantik aduhay. Gue udah dari pagi lirik-lirik bangku depan meja guru yang diduduki Hilman. Semoga aja gak ada yang ngadar. Bisa berabe urusanye! Untuk sementara, gak ada yang aneh dari Si Hilman. Dia rajin banget dengerin ceramah guru disaat anak-anak pose superman terbang alias tidur atau izinnya ke toilet tapi gak balik-balik. Bukannya kelas kami mengasingkan Hilman. Banyak anak-anak yang mencoba mengajaknya join tapi dia selalu nolak. Atau anak-anak yang sukarela menjadi teman semejanya, tapi gak lebih dari sejam mereka mundur karena sulit berkomunikasi dengan Hilman.

Suasana ramainya kantin menyambut menit pertama jam istirahat gue.

"Oii." Gue menyapa Ardhi dan si kembar yang duduk di ujung. Rencananya gue mau ke sana setelah pesen soto. Di sana gue ketemu Hilman yang membawa lima mangkok soto diatas nampan.

"Man, buset lo laper apa begimane? Banyak amat makan lo."

Hilman tersenyum tipis. "Ehmm, gue lagi traktir temen-temen gue."

"Ooh, gue gak ditraktir juga, nih?"

"Lain kali aja, ya. Gue pergi dulu." Hilman berlalu dan berjalan menuju meja Vando dan temen-temennya berada.

Gue mengambil soto yang gue pesan dan bergabung dengan Ardhi.

"Kalian tau Hilman? Ngapain dia ikut-ikutan gengnya Si Vando, pake ntraktir segala."

"Pengen di traktir juga lo?" kekeh Si Alnast.

"Enggak gitu maksudnya."

"Bukan cuma ntraktir, cuy. Dia diperbudak sama Vando," ujar Ardhi.

"Hah? Gimana?"

"Lo gimana sih temen sendiri kagak tau. Udah lama dia dibuli sama Vando," kata Albast.

"Rumornya." Alnast—si biang gosip nomer dua—menjulurkan lehernya. "Dia sendiri yang minta gabung gengnya Vando kebagian jadi babu."

"Dan dia mau-mau aja?"

"Diancem kali."

"Kenapa gue kagak tau, sih? BK juga gak tau masalah ini?"

"Gak ada yang tau Si Vando buli Hilman kayak gimana. Gak ada buktinya. Meskipun kejadian di depan mata kita ini lo laporin ke BK, berani taruhan Hilman bakal kekeh kalo lagi ntraktir. Kalo dia sukarela ngomong gitu, BK bisa apa?"

Gue merenungi ucapan Ardhi yang banyak benarnya. Semakin kesini, gue semakin pengen menguak kebejatan Si Vando.

BBS (5) : FRIENDZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang