8. ARUL

1 2 0
                                    

Selepas sekolah ini, Haidar gak mau langsung pulang. Katanya dia pengen ngomongin tentang apa yang kita dapetin hari ini. Akhirnya kubelokkan motor gue ke kafe pinky—yang kayaknya bakalan jadi kafe langganan. Coba aja kalo desainnya gak imut kayak gini, udah gue ajak temen-temen gue buat tongkrongan di sini. Gue juga mau coba menu lain dari kafe ini.

"Hilman bilang dia yang dipaksa. Kak Alfa bilang Hilman yang mohon-mohon kepingin gabung. Menurut lo, lebih percaya yang mana?"

"Jelas Hilman lah. Kak Alfa ngomong gitu cuma buat nutupin kebobrokan gengnya."

Haidar mengangguk. "Gue juga mikirnya gitu. Tapi gimana kalo yang diomongin Kak Alfa itu benar?"

"Ya mungkin aja, mereka udah muak disatroni Hilman mulu. Lagian kenapa sih Hilman cari masalah sama mereka?!"

"Gak lo temenin sih," kekeh Haidar.

Gue menyenderkan punggung dan menerawang ke atas. "Setelah ini apa yang kita lakukan?"

"Cukup cari bukti dan laporin ke BK. Habis perkara!"

"Kalo seandainya masalah ini gak sesimpel itu gimana?"

"Kita udah terlanjur masuk, dan kita akan cari jalan keluar, gimanapun caranya!"

Sebenarnya kepikiran buat menangkap basah Vando dengan Hilman sebagai pancingan. Tapi gue belum berani mengungkapkannya, terlalu beresiko.

"Duri, gue punya ide!"

Gue mayun menatap Haidar yang bersemangat. "Jangan panggil gue duri!"

Gue mengusap rambut kaku yang mulai tumbuh. Semua ini gara-gara Pak Randy, guru BK itu emang gak ngerti hair style. Seenaknya aja gunting-gunting rambut gue.

"Emangnya rambut gue mirip durian, ya?"

Haidar tertawa. "Sedikit. Gue punya ide. Gimana kalo kita hack cctv sekolah?!"

Haidar tetap melanjutkan ucapannya tanpa memikirkan penderitaan gue. Ya sudahlah, rambut durian memang tidak ada apa-apanya ketimbang masalah yang dialami Hilman.

"Gimana caranya?"

"Gue pernah diajarin nge-hack sama abang gue. Besok minggu lo temenin gue, oke?"

"Apasih yang enggak buat bidadari."

Sekilas, hanya sekilas gue bisa melihat Haidar tersipu. Tapi setelahnya dia bersikap biasa-biasa saja.

"Kenapa lo mau bantuin gue?"

"Karena dengan cara ini gue bisa deket sama lo. Gue suka sama lo." Tentu saja kata-kata itu hanya gue ucapkan dalam hati.

"Karena Hilman temen gue."

Haidar mengangguk. "Hmm, teman sejati emang harus gitu. Kuy, anterin gue pulang."

Kami keluar dari kafe pinky bersiap-siap pergi. Dari atas motor ini, kami menikmati semilir-semilir angin sore. Romantis banget pokoknya. Sampai tak terasa udah di depan rumah Haidar. Maunya gue ajak keliling, tapi bensin kagak cukup. Maklum saku pelajar. Kalau kayak gini rasanya waktu berjalan cepat. Tapi kalo ujian lamaaanya banget kayak bulan puasa. Memang benar kata Albert Einstein, waktu itu relatif.

"Makasih ya, Rul. Sampai jumpa besok." Haidar melambaikan tangan dan berbalik memasuki rumah.

Gue menepuk dahi. "Kenapa gue kagak nanya dia udah punya cowok apa belum."

***

Sesuai janji yang dibuat kemarin, pagi ini gue dan Haidar udah nangkring di kafe pinky. Tangan Haidar bergerak lincah di atas keyboard laptopnya, mengutak-atik saluran cctv sekolah.

"Kemarin gue dapet tugas ekonomi. Bantuin napa," ucap Haidar sambil menunggu.

"Materi apaan?"

"Kuitansi."

"Ha? Akuntansi kali."

Haidar tertawa ngakak. "Eh iya, akuntansi."

"WOI, DAPET."

Haidar menjengit kaget mendengar teriakkan gue. "Santai dong, bro."

Layar laptop Haidar kini menampilkan rekaman cctv. Dia berhasil meretas saluran cctv sekolah.

"Sakti juga lo."

Hidung Haidar kembang kempis mendengar pujian gue.

"Maygaatt, gak ada cctv yang mengarah ke tempat itu." Tempat yang dimaksudnya adalah tempat yang ditemuinya saat Vando membuli Hilman. CCTV juga menampilkan rekaman hari dan jam yang sama.

"Udah gue bilang, cctv cuma mengarah ke koridor. Coba lo puterin sebelum dan sesudah waktu kejadian."

Rekaman cctv hanya menampilkan gerombolan Vando dan salah satu temannya merangkul Hilman memasuki ruangan itu. Tak lama mereka keluar dengan penampilan Hilman yang sedikit berantakan. Selebihnya tidak ada sesuatu yang mencurigakan.

"Ini gak cukup kuat untuk dijadiin bukti," ujar gue.

Gue menyuruh Haidar mencoba melihat rekaman di tempat yang sama beberapa hari setelah kejadian.

"Tunggu, apaan nih?" Gue mengambil alih mouse Haidar saat menemukan sesuatu yang mencurigakan.

Masih di tempat yang sama, namun waktunya keesokan hari setelah kejadian pukul setengah lima sore. Seseorang dengan pakaian serba hitam menutupi wajahnya muncul dari rekaman cctv.

Haidar ikut terkejut. "Siapa itu?"

"Entahlah," sahut gue dengan mata tak lepas dari layar laptop.

Haidar berdeham. "Ehm, t-tangan gue."

Gue menunduk dan segera melepas tangan gue dari mouse. Gara-gara orang mencurigakan itu, tanpa sadar sedari tadi tangan gue menangkup tangan Haidar yang masih diatas mouse. Aduh, tangan sabar dulu. Ada saatnya kita bakalan genggam tangan itu.

"S-sori, ehm."

"Iya, gak papa," angguknya.

Kami kembali melototi layar laptop dengan sisa-sisa kecanggungan.

"Siapa ini?"

"Jangan-jangan temen lo tuh yang suka pake hoodie hitam."

"Sita? Enak aja bukan dia, ya! Kalo kayak gini kita gak bisa bedain dia cowok atau cewek."

"Kenapa lo bisa mikir gitu? Bisa aja dia cuma lewat, gak ada hubungannya sama Vando dan Hilman."

"Tapi keberadaan dia di sekolah jam segitu itu mencurigakan! Gak ada salahnya kita curigai dia. Sekali-kali suudzon gak papa, man."

Gue terkekeh mendengar ucapan terakhir Haidar. Oke, tidak ada salahnya membenarkan ucapan Haidar. Seperti yang dikatakannya, kami gak bisa menentukan oknum ini cowok atau cewek. Karena dia memakai training hitam seragam olahraga, yang bisa dipakai oleh siapa saja. Tapi yang pasti oknum ini adalah murid sekolah kami.

Gue memperbesar rekaman cctv itu. "Lo lihat pot bunga ini?" Gue menunjuk pot bunga gantung yang muncul di samping orang itu. "Kira-kira tinggi pot ini dibawah gue dikit."

Haidar menepuk tangannya. "Pot itu setinggi gue!" ucapnya yakin.

"Berarti oknum ini kalo gak cewek ya cowok mungil."

BBS (5) : FRIENDZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang