21. HAIDAR

0 2 0
                                    

"WOI HILMAN, KELUAR LO! LEPASIN TEMEN-TEMEN GUE!!"

Dari celah papan aku melihat Adia sedang berkoar-koar di depan gedung. Disampingnya ada teman-temanku yang lain dan Pak Randy. Dari dalam gedung keluar preman-preman berbadan kekar dengan jumlah yang gak kira-kira. Ada sepuluh setelah kuhitung.

"Suruh bos lo keluar! Mau gue lubangin kepalanya." kata Adia tak gentar.

Aku tidak terlalu dengar apa yang mereka bicarakan tetapi yang pasti sepuluh preman itu sudah mengepung mereka. Sita dan Faza yang tidak bisa bela diri memilih mundur. Adia dan Eliza masing- masing dikepung tiga preman, sedangkan Pak Randy dikelilingi empat preman.

Eliza melepas ikat pinggangnya dan mengibasnya ke udara. Suara sabetannya membuatku merinding. Dia menggunakan ikat pinggangnya untuk menyabet semua bagian tubuh lawannya. Mulai dari kepala, perut, pinggang, dan kaki. Belum lagi dia juga menambahkan pukulan dan tendangan. Satu preman mengayunkan tongkat kayu, Eliza yang masih memelintir tangan preman lainnya menjadikannya tameng sehingga tongkat kayu itu tidak mengenainya. Setelahnya dia pukul preman itu habis-habisan.

Sebelum preman itu mendekatinya, Adia sudah cepat mengambil kerikil dan membidik dengan ketapelnya. Dari jarak yang dekat sudah pasti hempasannya juga besar.

"Oh, nice!"

Aku tidak tahu hempasan batu tepat mengenai apa. Tapi yang pasti preman itu mengerang kesakitan sambil menekan matanya.

Adia menggunakan ujung kayu ketapelnya untuk menampar wajah lawannya, karena ini pertarungan jarak dekat. Dia juga beberapa kali mendapat pukulan, tapi sejauh ini dia hebat mampu melawan para preman. Dua preman sudah dirubuhkannya yang sekarang sedang diikat oleh Sita dan Faza.

"Rasakan ini!" Tangan kiri Adia mencengkeram erat leher preman yang muka kirinya bercodet, sedang tangan kanannya melayangkan pukulan dengan sasaran kearah muka.

BUGH!

"Auwh, patah tuh hidung," gumam Arul ngeri.

Aku juga ikutan ngeri karena suara patahan terdengar jelas sampai sini. "Lihat, masih ngeremehin mereka?"

Arul menggeleng cepat-cepat. "Lebih nyeremin teman lo daripada hantu."

Aku mengangguk setuju.

"Makanya cari pekerjaan yang halal, Pak! Jangan mau diajak dosa." Adia memberi petuah seraya menyerahkan preman itu ke Sita untuk diikat.

"Eliza, awas!" Aku berseru tertahan saat ada satu preman menodong pisau di belakangnya.

Beruntungnya Adia lebih cepat tahu. Dengan tepat dia membidik pergelangan tangan si preman dengan ketapelnya, membuat pisau itu jatuh ke tanah. Adia berlari pendek sambil mengayunkan tendangan yang mengenai leher preman. Langsung dibekuk oleh Sita dan Faza.

Dari belakang satu preman melemparkan kotak kayu yang langsung hancur berantakan setelah mengenai punggung Pak Randy. Beliau tidak mengalami masalah serius dan langsung menebas leher si preman dengan tangannya. Untungnya Pak Randy menggunakan tangan kosong, akan menjadi hujan darah jika beliau membawa benda tajam. Kemudian beliau membantingnya. Itu preman terakhir.

"ITU HILMAN! DIA MAU KABUR!!" teriak Faza sambil menunjuk ke arah gedung tempatku disekap.

Terlihat Pak Randy dan Adia mengejar Hilman. Aku juga berlari ke arah pintu yang berhasil dibuka oleh Kak Vando. Sekarang tidak perlu takut lagi, pasti tidak ada preman yang menjaga. Aku menahan tangan Kak Vando yang hendak membuka knop pintu. Aku menempelkan telinga ke pintu. Terdengar suara derap lari yang semakin dekat. Aku menghitung dalam hati. Pada hitungan ketiga aku menghempaskan pintu keluar.

BUGH!

BRAK!

Hempasan pintu itu mengenai Hilman yang membuatnya pingsan seketika. Sekarang dia terkapar di lantai dengan kedua hidung mimisan dan dahi merah yang sebentar lagi akan benjol.

"Good job, lo berhasil ngelumpuhin Hilman dalam sekali hempasan," puji Adia membuatku melambung tinggi.

Terdengar suara sirine polisi dan sorotan lampu mobil dan motor mulai memasuki area bekas pabrik ini. Pak Kompol Mahendra langsung menghampiri kami. Para polisi langsung memborgol dan mengamankan preman-preman sekaligus Hilman. Paramedis datang dan langsung membopong kami yang terluka. Sekarang kami berada di halaman gedung. Melihat beberapa polisi masih menelusuri TKP. Kak Vando, Kak Alfa, dan Kak Ahmad sudah dibawa ke rumah sakit. Aku memilih tinggal karena lukaku tidak parah, Arul juga. Sebenarnya aku sudah menyuruhnya untuk ke rumah sakit, tapi dia tidak mau meninggalkanku. Setelah dia memastikan kepada perawat bahwa dia baik-baik saja tanpa kemungkinan gegar otak atau mati kehabisan darah. Sekarang kepalanya dipenuhi perban mirip mumi.

"Eliza, lengan lo luka." Aku menutup mulut melihat luka di lengan Eliza yang menganga. Karena dia memakai kaos hitam jadi tidak ada yang sadar.

"Oh iya, pantesan kayak ada yang sakit," lenguhnya.

"Ayo El, gue anterin ke ambulance." Faza menuntun Eliza menuju ambulance yang tersisa.

"Luka lo juga perlu diobati, Bos," ujar Sita mengingatkan. Meskipun tidak parah tapi mukanya penuh lebam.

"Gue obatin di rumah aja. Sekarang lagi nunggu si kompol, gue mau buat perhitungan!" Adia merenggangkan badan. "Gila, badan gue sakit gara- gara preman sialan."

"Sori ya, Bos. Gara-gara gue lo jadi kayak gini. Eliza juga kena pisau," ucapku penuh sesal.

"Ini bukan salah lo. Lo juga korban di sini. Yang pantas disalahkan disini itu Hilman! Jadi jangan minta maaf seakan lo komplotannya Hilman," ujar Sita.

"Amit-amit," sahutku cepat.

"Sebagai gantinya, nih pijetin tangan gue!"

Sita melototi Adia yang mencari kesempatan dalam kesempitan merentangkan satu tangannya di depanku. Tapi aku tidak memprotesnya. Segera memijat tangan Adia yang berhasil membuatnya cengar-cengir kesenangan. Jika dalam keadaan normal, aku tidak bakalan mau disuruh-suruh begini. Sebagai rasa terima kasih sudah menyelamatkanku, aku rasa tidak masalah melakukannya.

"Pak Kompol, kebiasaan polisi datangnya telat!" seru Adia melihat Pak Kompol Mahendra berjalan kemari.

Kompol Mahendra jelas bete digitukan. "Haidar, Arul kalian sudah diobati dan tidak ada masalah serius, kan?"

Aku dan Arul mengangguk patuh.

"Randy, Adia, Eliza, Faza, dan Sita terima kasih sudah membantu membekuk pelaku. Sekarang kalian boleh pulang dan istirahat. Sisanya kalian diserahkan pada polisi," ujar Pak Kompol Mahendra.

"Urusan kita belum selesai, Pak!"

"Randy, urus muridmu ini." Pak Kompol Mahendra mendorong pelan Adia yang langsung digiring Pak Randy keluar area bekas pabrik.

Malam ini Pak Randy akan mengantarkan kami semua pulang. Beliau akan menjelaskan kepada orang tua kami akan luka-luka di tubuh kami.

BBS (5) : FRIENDZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang