Chapter 23

337 42 12
                                    

                    Villa. Betul, tempat terakhir yang Irene ingat adalah Villa itu. Dan ia menaruh seratus persen keyakinan penuh bahwa Seokjin ada disana. Untuk kesan pertama kali saat itu, cukup menyeramkan.
Terlebih lagi, tidak banyak penduduk, hanya Villa itu saja. Dikelilingi banyak pohon, hutan, memang sejuk ketika pagi hari. Namun ketika menjelang sore menuju malam suasananya akan cukup mencengkam.

Dengan mengumpulkan tujuh puluh lima persen keberanian, ia mencoba menghapal dan mengingat jalan menuju Villa saat itu. Dengan bantuan maps dari internet, serta daya ingatnya diharapkan bisa mampu mencapai lokasi tujuan. Saat itu pukul tiga sore, tapi langit berubah menjadi mendung. Tampaknya ia sedih, seperti Seokjin saat ini. Jalanan penuh dengan pohon-pohon rindang nan besar, serta angin yang cukup berterbangan. Membuat suasana horror cukup bisa dilakukan.

                     Ia tak berani hujan, ia tak berani menangis. Ia tak berani mengeluarkan petir, dan ia tak berani marah. Ia hanya mendung, karena ia hanya menutup diri.

Selama di perjalanan, Irene mencoba mengingat hal yang baik baik demi kelancaran pikirannya yang kalut selama itu. Untungnya, Irene sudah melihat pertanda Villa itu sudah dekat. Dengan bentuk desain yang unik, serta terdapat mobil terparkir di halaman depannya. Sudah dipastikan, itu mobil Seokjin.

Terukir senyuman di wajah Irene ketika ia bangga pada dirinya sendiri karena dapat memberanikan diri untuk pergi ke Villa ini sendirian. Patut diacungi jempol untuk keberaniannya.

Irene dengan tergesa-gesa keluar dari mobil dan masuk ke dalam villa tersebut.

"Seokjin?"

           Ia masuk dan menaruh tasnya di sofa ruangan tengah. Berjalan menyusuri setiap tempat demi menemukan pria itu, untung saja ia melihat bayangan seorang pria yang tengah duduk bersantai di samping kolam dengan pakaian santainya. Itu Seokjin, ia ada di halaman belakang.

"S-seokjin?"

"Hiks-"

Cukup. Melihat seorang pria menangis jauh lebih menyakitkan dari apapun. Irene mendekati dan meraih Seokjin yang tengah terpuruk, lengannya ia gunakan untuk mengusap dan menepuk pelan punggung Seokjin.

"Gwenchanna gwenchanna..."

Irene lekas meraih Seokjin untuk memeluknya. Seokjin paham, ia juga butuh sandaran dan akhirnya ia memeluk Irene sembari terus mengeluarkan air matanya. Tak henti.

"Tidak apa apa, kau bisa menangis sebanyak yang kau mau. Anggap aku tidak ada disini. Ya?"

Irene mencoba memberikan kalimat kalimat penenang untuk Seokjin. Seokjin sudah tidak peduli, yang ia butuhkan saat ini hanyalah pelukan.

Setelah berlama-lama sekitar sepuluh menit. Seokjin akhirnya berhenti menangis, ia mengusap pelan air mata di wajahnya dengan sekaan lengannya. Irene membantu menghapus air mata itu dengan jari-jari lentiknya. Wajah Seokjin terlihat cukup bengkak, matanya terlihat sangat sembab, dan rasa sesenggukan masih tersisa.

Seokjin menunduk, "M-maaf..."

Irene terdiam.

                     "M-maaf karena kau melihat sisiku yang seperti ini..." Seokjin memegang dahinya, mengusapnya beberapa kali dengan ekspresi frustasinya..

Irene menggeleng. Ia meraih kedua lengan Seokjin, mengelusnya pelan. Membuat wajah mereka saling bertemu dan bertatapan. "Tak ada sisi manapun. Bagiku, kau tetap sama. Seokjin, sahabatku." Irene tersenyum sebelum melanjutkan kalimatnya, "Maka dari itu, jangan minta maaf karena melakukan hal-hal yang kau cintai. Kau suka menangis, menangislah. Jangan paksakan dirimu terlalu berat."

Hiding | Kim SeokjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang