Pagi ini adalah hari pertama ku masuk ke jenjang pendidikan menengah ke atas. Dan sialnya, tiga hari pertama akan diadakan kegitan masa orientasi siswa, atau yang lebih dikenal dengan kegiatan MOS.
Rambutku dimodel kepang dua di bagian kanan dan kiri, dengan tali warna-warni pada ujungnya. Selain itu, aku juga memakai topi setengah lingkaran yang terbuat dari bola sepak plastik berwarna merah dan juga putih.
Tanda pengenal dari kardus yang terikat oleh rafia merah mengalung di leherku. Tertulis dengan jelas, Nama, Tanggal lahir, dan juga kelas di mana ku berada.
Jujur saja, awalnya ku pikir takkan ada yang lebih buruk dari penampilan memalukan ku ini. Namun aku salah besar.
"Astaga! Origami nya ilang!" Seru ku, panik saat menyadari bahwa origami burung yang seharusnya ada di atas topi bola plastik menghilang entah ke mana.
Supir yang mengantarkan ku juga ikutan panik. "Wah, gimana nih, Non? Kalo kita balik ke rumah mah ga keburu, udah mau masuk ini soalnya." Ucapnya sambil melongok ke depan, mencoba melihat keramaian gerbang dengan lebih jelas.
Menghela nafas lelah, aku menoleh pada lelaki itu. "Bapak bisa buat origami gak?" tanyaku.
Menoleh ke arahku, ia terkisap. "Ya saya ngga bisa, Non." Lirih lelaki itu, seperti takut jika nantinya ku merasa marah. "Coba cari di tas? Kali aja ketlingsep."
Menuruti sarannya, aku pun membuka tas hitam ku. Mengobrak-abrik isinya, berharap bisa menemukan origami warna merah yang semalaman sudah susah payah ku buat bersama Ayah yang ketiduran di tengah kegiatan.
Mendecak, aku menutup tas ku dengan kasar. "Aish, ga ada ...." Rengekku.
Mengerang, aku akhirnya menerima takdirku. Terserahlah, nanti mau dihukum seperti apa, yang penting aku tidak bolos di hari pertama MOS.
"Persetan. Pak, saya mau langsung turun ajalah, capek ngurusin kertas lipet." Dumelku sambil membuka pintu mobil dan melompat turun dari seat depan.
Menutup pintu dengan kasar, aku belalu mengabaikan seruan pak supir yang teredam. Mendongak ke atas, aku bisa melihat gerbang sekolah yang cukup megah di hadapan ku. Dua gerbang besinya terbuka lebar, seperti mempersilakan ku untuk masuk.
Ku genggam strap ransel dengan erat, masih mengingat tentang origami burung yang hilang entah ke mana. Padahal itu adalah atribut wajib yang harus di kenakan saat MOS. Aku yakin, pasti hal ini akan membuatku mendapatkan sebuah hukuman berat.
Tapi tidak apa-apa. Aku yakin mereka pasti bisa sekedar memaklumi. Bukankah ini masih hari pertama?
Ya ... aku yakin, mereka pasti bisa mengerti.
"Itu kamu kenapa pakai lipstick?!"
Berjengit. Aku langsung menoleh ke sumber suara.
Sekitar lima meter di sisi kananku, aku bisa melihat tiga orang kakak kelas yang sedang memarahi salah satu anggota MOS.
Bisa ku lihat, anggota MOS itu mengernyit. "Loh, Kak. Siapa yang make lipstick? Saya ini emang merah bibirnya." Bela gadis itu, entah ucapannya itu benar atau hanya sekedar bualan.
Terkekeh dengan nada yang sinis, kakak kelas itu menarik kerah sang gadis anggota MOS. Hal itu berhasil membuatku merinding ketakutan.
"Alah, ga usah banyak kibul deh. Ayo sini ikut saya! Biar saya laporin ke panitia dan kamu dikasih hukuman!"
Yap, oke. Dengan itu pikiran positive ku tentang kakak kelas yang pengertian sirna sudah.
Dengan langkah kecil namun cepat, aku memilih untuk bersembunyi di balik satu bangunan yang cukup sepi. Sepertinya tempat ini adalah tempat parkir khusus guru. Namun hal itu tidaklah penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pupus
Teen Fiction[Update setiap Senin.] Kembali ke kota kelahiran ku setelah lima tahun lamanya ku pergi, tujuan kedatangan ku kali ini adalah untuk bernostalgia dengan luka lama yang pernah tertoreh di hati ku. Mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan berbagai kena...