Rambut hitam kelam ku yang panjang mulai berkibar. Beberapa bahkan sanggup menghalangi pandanganku, membuatku harus menyelipkan beberapa anak rambut ke belakang telinga.
Aroma laut yang menggelitik hidungku cukup memuakkan. Dengan netra yang memincing, menghalau sinar matahari, aku berjalan lebih dekat menuju ke bibir pantai. Membiarkan kakiku yang telanjang sesekali dihampiri oleh buih-buih dari ombak.
Menyusuri tepian pantai, perlahan aku mulai kembali ke masa lalu. Mengingat apa saja yang pernah terjadi di tempat ini.
***
"Kalian mau liburan ke pantai, gak?" Tanya Rania.
Kami berlima yang awalnya menikmati makanan yang disediakan di kantin pun langsung terdiam. Menatap Rania dengan netra yang melebar, aku menurunkan sendok.
"Eum ... aku ga tau sih, mungkin bakal agak susah buat ikutan, soalnya ya ... ayahku kan galak banget giu, Ran." Jelas ku.
Menepuk pundakku, aku menoleh ke kanan, menatap Nonik yang tersenyum padaku.
"Kamu santai aja, Ras. Nanti bakal aku temenin kok pas minta ijin. Biar kamu gak ngompol di celana karena takut sama ayah kamu." Cibir gadis itu lalu tertawa, berhasil membuatku mendengus kesal.
Di sisi lain, Nova yang duduk di samping Rania mendecak. "Aku sebenernya pengen ikut, tapi aku takut kalau kulit aku nantinya bakal jadi gosong." Keluh gadis itu.
Ucapan Nova pun berhasil membuat Rania memutar kedua bola matanya dengan malas. "Aduh Nova ... Nova ... siapa juga sih yang mau ajak kamu?" Kelakar gadis itu, membuat Nova menganga, terkejut akan balasan yang ia dapatkan.
Mengangkat tangannya, Anas yang sedang tersenyum menarik perhatian kami berempat.
"Aku boleh ikut gak?" tanya lelaki itu, dan dengan cepat Nonik menyodorkan telunjuk kanannya ke depan wajah Anas.
Dengan nada sombong, gadis itu berbicara. "Cecunguk kaya kamu tuh gak boleh ikutan yah." Cemoohnya, membuat senyum Anas menghilang.
Dengan satu gerakan cepat, Rania menoleh padaku. "Ras, ayo dong. Masa kamu ga ikut sih? Eh Nas, kamu bujuk Raras buat ikutan dong. Kalo Raras berhasil kamu bujuk, aku bakal ajak kamu juga deh ke pantai."
Hal itu membuatku menganga. "Loh? Kok kamu malah hasut-hasut Anas kaya begitu sih, Ran?"
Nyengir, gadis itu melambaikan tangan kanannya. "Ya gak apa-apa dong. Soalnya kalo Anas yang bujuk kan kamu gak bakalan nolak. Iya kan?"
Dengan wajah yang memanas, aku mendecak kesal. "Ih, kamu itu apaan sih, Ran. Ada-ada aja."
Tertawa kecil, Anas menepuk bahuku. "Ras, ayo dong kamu ikut. Kalo kamu ikut kan lumayan, sambil jalan-jalan di pantai, saya juga bisa PDKT sama kamu."
Ucapan Anas berhasil membuat tenggorokanku tercekat. Ditambah lagi dengan sorak-sorak dari Rania dan yang lain, hal itu harus membuatku terpaksa menyembunyikan wajahku di balik tangan.
Aduh, dia ini bercandanya sudah terlalu berlebihan.
"Hus, kalian apa-apaan sih. malu tau gak diliatin sama yang lain kalo ribut gini." Peringatku, membuat Rania tertawa.
"Ya, kamu mau ikut ya Ras. Pleasee ... nanti aku traktir kamu deh, janji kok janji." Rania memohon padaku sambil mengepalkan kedua tangannya.
Menghela nafas, aku akhirnya menurunkan tangan yang menutupi wajahku. "Iya-iya, nanti aku coba buat minta ijin sama ayah ku dulu." Menoleh pada Nonik, aku menggoyangkan bahunya. "Nonik! Pokoknya kamu nanti bantuin aku buat minta ijin ke ayah ya! Awas kamu kalo bohong, aku gak bakal balas pesan kamu lagi."
Tertawa kecil, Nonik mengangguk sembari menurunkan tanganku dari bahunya. "Iya-iya, aku janji kok."
***
"Loh, kamu kenapa ikutan juga?" Tanyaku, terkejut saat Anas bilang bahwa ia juga akan ikut membantuku untuk meminta ijin pada ayah.
"Hm? Emangnya kenapa kok saya ga boleh ikut?" Tanya Anas dengan polos, berhasil membuatku menepuk dahi.
Nonik pun tertawa. "Aduh Nas ... Nas. Kalo kamu ikutan, ya Si Raras bakal tambah susah dong minta ijinnya. Kan kamu cowok."
Anas menatap Nonik dengan tatapan sinis. "Ya terus? Emangnya kenapa sih? Kan Raras itu temen aku, ya udah semestinya dong aku bantuin dia."
Ouch, yap. Ucapan Anas emang sangat benar. Tetapi kenapa dia harus dengan jelas menyatakan bahwa kami hanyalah teman?–Ya walaupun kenyataanya memang seperti itu.
Pak supir pun tertawa dari dalam mobil. "Kalo temannya Non Raras mampir ke rumah, Tuan pasti sudah ketar-ketir duluan, soalnya anak gadis beliau ternyata sudah ada cowok yang deketin."
Dengan wajah yang memerah, aku menoleh ke arah supir. "Pak?! Ih, kok malah ngomong kaya gitu? Mana ada!" Aku menyergah ucapannya, membuat ia semakin tertawa.
Menoleh ke arah Anas yang masih bertukar tatapan sinis dengan Nonik, aku pun cepat-cepat melerai mereka berdua.
"Aduh aduh, kalian ini loh daritadi kok berantem terus. Udah, Anas kamu jangan ikut yah. Biar aku sama Nonik aja yang minta ijin ke Ayah, kamu pulang aja." Titahku.
Dan dengan cepat, Anas menoleh kepadaku dengan wajah yang keberatan. "Tapi Ras, Rania kan sudah suruh saya buat bujuk kamu biar kamu bisa ikut. Ya saya harus minta ijin ke ayah kamu juga dong." Lelaki itu protes.
Ya ampun ... kenapa dia sangat keras kepala seperti ini sih?! Ku tebak, pasti saat ibu Anas sedang mengandungnya, beliau pasti mengidam batok kelapa!
Eh tunggu ... batok kelapa kan tidak bisa dimakan.
Membentuk tanda silang dengan kedua tanganku, aku menggeleng kuat-kuat.
"Tidak usah. Kamu sudah berhasil buat saya terbujuk untuk ikut. Untuk urusan ijin dari ayah saya, biar saya sama Nonik yang urus. Saya pastikan kamu pasti bisa ikut mantai sama kita-kita, oke?" Pungkas ku.
Dengan cepat, mendorong Nonik untuk memasuki mobil, membuatnya hampir terjengkang di jok belakang.
"Saya pulang dulu. Kamu hati-hati. Permisi, selamat sore."
Dan dengan itu aku pun cepat-cepat masuk ke dalam mobil, menutup pintunya. Berseru pada supir. "Pak, ayo! Kita pulang sekarang!"
Melaju di jalan yang ramai lancar, meninggalkan Anas dengan sepedanya di gerbang depan sekolah yang ramai.
Di dalam mobil, aku menghela nafas lega. Bersandar pada jok yang empuk tanpa menyadari tatapan aneh yang diberikan Nonik padaku.
"Anas suka sama kamu ya, Ras?"
Pertanyaan yang berhasil membuatku terangkat kembali dari kelengahanku. Menatapnya dengan tatapan ngeri, aku pun membalas pertanyaannya dengan pertanyaan lain.
"Kamu dapet kesimpulan kaya begitu dari mana ha?!"
Nada suaraku yang terdengar bersungut-sungut berhasil membuatnya mundur ke belakang dengan tatapan kebingungan yang ia berikan padaku.
"Loh? Kok kamu marah-marah gitu sih?" tanyanya, membuatku menghela nafas dan menggeleng.
Mendecak, aku menatap ke depan, samar-samar aku bisa melihat Pak supir yang berusaha menahan senyumannya.
"Nggak kok, mana ada Anas suka sama aku. Kita berdua tuh cuma temen, oke?" Jelasku, dan tentu saja Nonik tidak nampak puas dengan penjelasan singkat yang ku berikan.
Namun walau begitu, ia tetap menerima penjelasan abstrak tersebut. Karena kami berdua harus mengingat bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada mendiskusikan tentang Anas.
Dan hal itu adalah tentang bagaimana cara mendapatkan ijin dari ayahku yang super galak.
***
Yang bapaknya galak angkat kaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pupus
Genç Kurgu[Update setiap Senin.] Kembali ke kota kelahiran ku setelah lima tahun lamanya ku pergi, tujuan kedatangan ku kali ini adalah untuk bernostalgia dengan luka lama yang pernah tertoreh di hati ku. Mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan berbagai kena...