"Kamu gak adil."
Lelaki itu berbalik, aku bisa melihat kedua alisnya yang terangkat. "Kok bisa? Memangnya saya kenapa?" Tanya lelaki itu dengan nada suara yang terdengar mengejek.
Aku medengus kesal. Dengan hati-hati aku mencoba untuk kembali berdiri dan menyeimbangkan diri di atas sepatu beroda ini.
Anas yang melihatku kembali mencoba pun akhirnya dengan cepat mendekatiku. "Katanya gak mau coba lagi?"
Mendengus kesal, aku menerima uluran tangannya. "Kamu ternyata ngeselin, yah?" Aku menggerutu, berhasil membuatnya tertawa.
"Kok malah jadi saya yang salah?" Kekeh lelaki itu, membuatku mendecak kesal.
Entah kenapa, sore tadi Anas mendadak datang ke rumahku. Dengan senyum lebarnya, ia mengajakkku untuk pergi ke lapangan yang letaknya sekitar lima belas menit menggunakan sepeda.
Awalnya aku ragu untuk ikut dengannya, namun saat kupikir-pikir lagi, kenapa tidak? Lagipula semua tugas sekolah yang ku tunda-tunda sudah selesai juga.
Dan beginilah akhirnya, kami berdua berada di lapangan sepatu roda yang tak terlalu ramai. Beberapa pedagang kaki lima berjualan di dekat sini, umumnya mereka menjajakan minuman dan juga kacang-kacangan untuk para pengunjung.
Namun yah, jujur saja aku tidak terlalu pandai bermain sepatu roda. Dulu aku pernah diajari oleh tanteku, namun endingnya cukup malang, aku jatuh tersungkur sampai lututku berdarah.
Tapi yah, aku rasanya tetap ingin main. Apalagi saat melihat bagaimana Anas dengan lihainya memutari rintangan-rintangan yang sudah disediakan. Dan hei, jika dikipir-pikir, bukankah menggunakan sepatu roda itu mempersingkat waktu perjalanan?
Namun yah ... tidak berlaku untukku yang berdiri saja masih harus berpegangan pada lelaki di hadapanku ini.
Sedaritadi ia tak henti-hentinya mengejekku, membuatku ingin menendang lututnya.
"Kamu pelan-pelan aja jalannya, jangan takut buat jatuh." Jelas lelaki itu, yang tentu saja mengundang protes dariku.
"Maksud kamu jangan takut jatuh itu gimana? Kan tadi saya sudah bilang kalau saya sudah pernah jatuh karena main sepatu roda. Ya wajar saja kalau saya takut untuk jatuh, Nas." Aku memperkuat peganganku pada kedua tangannya.
Ia tertawa kecil. "Ya memang jangan takut, Ras. Soalnya kan ada saya. Saya janji, kalau nanti kamu oleng, saya pasti akan langsung tangkap kamu deh."
Mendengus, aku bisa merasakan bahwa kedua pipiku menghangat. Perlahan, aku pun mecoba untuk mempercepat langkah kakiku, cengkeraman di tangan Anas juga mulai melonggar.
"Mau saya lepas?" bisik lelaki itu.
Aku menggeleng. "Jangan dulu, saya masih takut." Jawabku, membuatnya tersenyum lalu mengangguk.
Suasana cukup tenang. Beberapa pekikan dari anak kecil di lapangan menemani sesi latihan bermain sepatu roda ku sore hari ini.
Aku mendongak, mencoba melihat ke arah langit yang selalu saja nampak seperti lukisan hidup. Dengan semburat warna oranye, ungu dan juga biru tua. Burung-burung yang beterbangan nampak seperti titik hitam kecil, berkebalikan dengan awan putih yang sisinya nampak berwarna oranye.
Saking atuh cintanya diriku pada langkit senja, tak sengaja kakiku tersandung satu sama lain.
"Ras!"
Tangannya menangkap bahuku. Netraku yang awalnya terpejam, mengantisipasi rasa sakit saat menyentuh aspal, perlahan terbuka.
Di depan wajahku, aku bisa melihat netra kelam milik Anas dengan jelas.
ASTAGA! Dengan cepat aku menjauhkan wajahku dari wajahnya. Berhasil membuatku kembali oleng dan sepenuhnya jatuh, berhasil membuat pantat ku merasa sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pupus
Teen Fiction[Update setiap Senin.] Kembali ke kota kelahiran ku setelah lima tahun lamanya ku pergi, tujuan kedatangan ku kali ini adalah untuk bernostalgia dengan luka lama yang pernah tertoreh di hati ku. Mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan berbagai kena...