Menatap sebuah foto yang sempat ku ambil dengan kedua tangan yang gemetar, aku kembali mengusap air mataku yang masih saja menetes sejak sekitar tiga puluh menit yang lalu.
Menghela nafas, jujur aja aku tidak percaya bahwa Aldi bisa bermain api dengan gadis lain di belakang ku. Melihat kembali pada sikapnya yang selalu manis kepadaku, bagaimana aku bisa menyangka sebuah akhir pahit seperti ini?
Tidak, namun sudah sejak kapan? Sudah berapa lama mereka berdua menjalin sebuah hubungan terlarang itu? Apakah yang lain tau?
Astaga, kenapa aku tidak pernah menyadari hal ini? Sikap Aldi yang selalu melarangku untuk mengikuti dirinya pergi ke sana dan ke mari ternyata untuk menyembunyikan sikap asli lelaki itu ya?
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan setelah mengetahui fakta ini? Fakta bahwa perasaan cinta Aldi bukan sepenuhnya milikku.
Meremas rambutku yang kusut, aku menggeram pelan. Marah pada diriku sendiri.
Bagaimana bisa aku tak pernah menyadari ada sesuatu yang salah di antara diriku dan Aldi?
Meletakkan handphone ku dengan kasar ke atas meja belajar, aku memilih untuk beranjak masuk ke tempat tidur, bersembunyi di balik selimut tebal berwarna salem.
Astaga, entah kenapa sejak tadi suara Aldi selalu saja terngiang di dalam kepalaku. Rasanya ingin ku pecahkan saja tempurung kepala ini, aku sangatlah muak.
Namun tak berhenti di situ saja, wajah lelaki itu juga sekarang sudah mulai terbayang. Senyum manisnya saat ia berbicara padaku, tawanya saat ia sedang bercanda dengan teman-temannya yang lain.
Ya ampun, kenapa kelulusanku malah diiringi dengan rentetan kesedihan? Ini bukanlah kelulusan impianku.
Menghela nafas, aku kembali menghapus air mataku. Berguling agar tubuhku terlentang, aku menatap langit-langit yang gelap.
Suara gerimis mulai terdengar sering, kemungkinan tengah malam nanti akan terjadi hujan lebat.
Apakah langit juga bisa merasakan kesedihanku malam ini?
Entahlah, aku hanya bisa menangis dalam bisu di dalam kamar yang gelap dan juga sunyi. Aku tidak pernah berpikir bahwa patah hati akan terasa sesakit ini.
Apakah Nova dulu juga menangis di dalam kesunyian malam seperti diriku saat mengetahui bahwa kekasih yang amat ia cintai itu ternyata berselingkuh dengan gadis lain?
Ah ... iya, Nova.
Apa aku harus bertanya kepada gadis itu bagaimana caranya keluar dari waktu memuakkan seperti ini? Akan apa yang harus aku lakukan pada hubungan ku dan Aldi yang seperti berada di ambang kehancuran.
Berguling ke kiri, aku menatap dinding dan berpikir. Apakah hubungan ku dan Aldi bisa diperbaiki? Apakah kami–atau mungkin lebih tepatnya aku–masih bisa memperjuangkan hubungan ini?
Astaga, kepalaku serasa mau pecah memikirkan segala kemungkinan yang belum pasti.
Aku tau, aku tau dengan pasti bahwa hubungan ini lebih baik diakhiri saja. Namun gadis kecil di dalam hatiku ini meronta, ia menangis meraung-raung, melarangku untuk memutuskan segala tali yang mengikat diriku dan Aldi bersama.
Gadis kecil itu tidak ingin kehilangan rasa sayang semu yang Aldi berikan padanya. Pada diriku.
Dan bodohnya, gadis remaja yang sudah menginjak dewasa ini juga tidak bisa berfikir secara jernih. Dan dengan egois, ia menginginkan sosok Aldi untuk kembali kepadanya. Kepada seorang gadis yang perasaannya ia sakiti.
***
"Lupakan aja, Ras. Keinginan kamu itu adalah sebuah keinginan bodoh yang tak akan tercapai."
Jantungku terasa berhenti berdetak, menatap gadis yang duduk di hadapanku dengan tatapan nanar.
Tangan gadis itu masih sibuk menggenggam sendok kecil, mengaduk kopi yang ia pesan. Bahkan sesekali ia menatap ke arahku, membalas tatapanku yang terlihat memelas ini.
"Tapi kenapa?" tanyaku dengan lirih.
Menurunkan cangkir, ia menghela nafas. Nova akhirnya mendongak, berkenan untuk menatapku yang terlihat menyedihkan dengan meta sembab dan juga hidung merah yang tersumbat.
"Karena aku tau, Ras. Aku pernah di posisi kamu, di posisi ingin memaksa diri sendiri untuk berjuang demi seorang lelaki yang sudah jelas-jelas menyakiti perasaan diri." Jelas gadis itu.
Perlahan, ia meraih tanganku, menggenggamnya dengan lembut.
"Ras, percaya deh sama aku. Memperjuangkan seseorang yang udah nyakitin kita itu ga enak, buang-buang waktu. Aku gak mau kamu berakhir menyesal kaya aku, Ras." Sambungnya.
Menghela nafas, aku menunduk dan mengangguk. Aku tau, aku terlampau mengerti akan buruknya memperjuangkan kembali sebuah hubungan yang memang sudah rusak.
Aku juga sudah pernah lihat bagaimana Nova yang sudah hancur masih saja berusaha memperbaiki hubungannya dengan Kevin. Dan jujur, pada saat itu aku juga merasa bahwa apa yang dilakukan Nova sangatlah bodoh.
Namun, selain memahami sudut pandang Nova yang sekarang atas diriku, aku juga bisa memahami sudut pandang Nova yang dulu. Sudut pandang seorang gadis yang hanya ingin untuk dicintai.
Seorang gadis yang rela mengorbankan seluruh dirinya agar yang ia cintai berkenan untuk kembali dan memeluk diri.
Tak ku sangka, aku kembali menangis. Merutuki diri sendiri dalam hati, namun tak kuasa juga menahan lepasnya air mata.
"Aku paham, Va. Aku paham banget sama maksud kamu, aku paham kalo hal yang pengen aku lakuin itu hal yang sia-sia, Va. Tapi kamu juga pasti paham kan gimana sakitnya perasaan kita? Gimana egoisnya keinginan hati kita pas ada di posisi kaya gini?" Aku membalas ucapannya dengan suara yang bergetar.
Nova menatapku dengan tatapan iba. Ia tentu saja paham dengan kondisiku saat ini.
"Tapi kamu ga boleh jadi seorang gadis yang bodoh kaya gini, Ras. Dan ucapanku selanjutnya ini mungkin terkesan terlalu kejam untuk diberikan pada seseorang dengan kondisi yang menyedihkan kaya gini." Ia melepas genggamannya dari anganku.
"Kamu harus mengabaikan perasaanmu dulu, Ras. Mikir sama otak, jangan sama hati. Soalnya kalo kamu mikir masalah kaya gini tapi make hati, ya pasti ga bakal selese-selese.
Kalo pake hati, kamu pasti bakal selalu berharap kalau dia bakal berubah, kamu bakal memanipulasi diri kamu sendiri sehingga kamu bakal selalu mikir kalau dia pasti bakal berubah suatu saat nanti, dia bakal kembali lagi mencintai kamu seutuhnya,
Tapi kamu harus sadar, Ras. Kebenaran yang sesungguhnya adalah kekasih kamu itu udah memilih untuk mencintai seorang gadis lain. Faktanya, Aldi seratus persen sadar kalau dia masih memiliki kekasih, yaitu kamu. Tapi kamu bisa liat sendiri, kan? Dia masih tetap berkhianat ke kamu." Menunjuk dahiku, aku bisa melihat ekspresi Nova yang nampak sangat serius.
"Maka dari itu, Ras. Jangan jadi versi baru diri gua yang dulu, pikir pake otak kamu yang cemerlang itu, abaikan perasaan kamu karena hal itu nggak penting untuk situasi kaya gini. Perasaan kamu bakal ngehancurin kamu terus kalo kamu tetap bergantung pada hati kamu."
Menelan ludah, aku menatap Nova dengan tatapan takut-takut.
Gadis ini memang benar.
"Use your brain, Ras. Aku ga mau kalo kamu berakhir menyesali segalanya kaya aku pas dulu."
Dan percakapan itu pun berakhir di sana. Meninggalkan diriku yang kebingungan dengan bagaimana cara untuk membunuh perasaanku yang masih saja bersemi untuk Aldi.
***
jangan cuma dibaca, diterapin juga
KAMU SEDANG MEMBACA
Pupus
Teen Fiction[Update setiap Senin.] Kembali ke kota kelahiran ku setelah lima tahun lamanya ku pergi, tujuan kedatangan ku kali ini adalah untuk bernostalgia dengan luka lama yang pernah tertoreh di hati ku. Mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan berbagai kena...