Masih Bersama Shelly

1 0 0
                                    

Jalur pendakian ini menurutku cukup mudah. Berupa tanah padat yang sempit dan dikelilingi oleh pepohonan hutan. Perjalanan dari basecamp menuju ke pos 1 tak memerlukan waktu lama. Mungkin hanya sekitar dua puluh sampai tiga puluh menit.

Dan karena trek yang tak terlalu sulit, aku masih bisa bersenda gurau dengan yang lainnya. Menikmati pemandangan hutan di sekelilingku, aku menyadari bahwa pendakian sore hari ini akan membuat kami semua harus membuat camp di malam harinya.

Yah, sebenarnya Anas sudah menjelaskan hal itu berkali-kali kepadaku, dan aku juga tidak masalah jika harus bermalam di dalam tenda. Namun satu hal yang ku takutkan adalah rumor bahwa gunung yang sedang ku daki hari ini cukup angker.

Juna bilang, semakin dalam kami masuk ke hutan, kami akan menemukan banyak pertapaan, seperti misalnya Pertapaan Eyang Abiyoso yang ada di Pos 4.

Menggenggam tangan Anas, dengan hati-hati aku melewati sungai dangkal yang berbatu. Ada satu gubuk kecil di sisi kanan yang–Juna bilang–digunakan untuk para pendaki untuk istirahat sejenak.

Namun kami tak ada sedikitpun niatan untuk berhenti sejenak setelah melewati Pos 2 ini. Ya aku juga tidak masalah sih, lagipula ini tidak terlalu melelahkan.

"Kamu gak capek?" tanya Anas yang sedaritadi memperhatikan keadaanku.

Membenarkan letak tas yang ku bawa, aku tersenyum lebar ke arahnya. "Gak kok, saya oke-oke aja!" balasku, berharap bahwa ucapanku ini dapat membuat kekhawatirannya berkurang.

"Pacaran mulu kalian berdua, kesurupan baru tau rasa!" seru Shelly yang memimpin pendakian.

Wajahku memerah, tersipu malu dan dengan cepat aku memilih untuk menyusul mereka yang ada beberapa langkah di hadapanku.

Ucapan Shelly membuat Anas mendengus geli. "Siapa juga yang pacaran? Ngasal mulu kamu Shel." Sangkal Anas yang tak mendapat balasan apapun dari gadis berambut merah itu.

Melanjutkan perjalanan kami menuju ke Pos 3, ternyata mulai dari sini jalanan mulai sedikit menanjak. Selepas melewati tanah berbatu yang ada di dekat sungai, kami akhirnya kembali menapak pada tanah padat yang menanjak karena ini sudah memasuki wilayah lereng gunung.

Yang ku dengar dari Juna, lelaki itu bilang bahwa Pos 3 merupakan tempat yang tepat untuk beristirahat. Ada beberapa warung yang terletak di sana, memungkinkan kita untuk ngopi-ngopi sejenak. Juna juga bilang, mungkin ada kesempatan kalau kita akan bertemu beberapa pendaki lain yang hendak turun.

Namun hal itu langsung disangkal oleh Shelly. Gadis itu bilang bahwa ucapan Juna yang mengatakan bahwa kami akan bertemu dengan pendaki lain adalah suatu ucapan yang bodoh. Mana mungkin ada orang yang mendaki siang hari menuju ke puncak? Begitulah perdebatan singkat yang terjadi di antara mereka berdua.

Tentu saja aku hanya diam. Ini adalah kali pertamaku mendaki dan aku tak mengetahui apapun di bidang ini, maka dari itu aku tidak menimpali argumen mereka berdua.

Anas bilang, perdebatan singkat seperti ini adalah perdebatan yang wajar terjadi antara Shelly dan Juna. Ia bilang, dua sahabat itu bagaikan dua magnet dengan kutub yang sama. Bukannya bersatu karena memiliki hobi yang sama, keduanya malah saing mendorong satu sama lain ke belakang.

Hal itu berhasil membuatku merenung sejenak sembari memandang Juna dan Shelly yang nampak sedang mendiamkan satu sama lain.

Walaupun kedua orang memiliki suatu hal yang sama, bukan berarti mereka akan cocok. Bisa saja mereka berdua malah membenci satu sama lain. Lalu bagaimana dengan dua orang yang bertolak belakang? Apakah mereka punya suatu kesempatan untuk bersama tanpa menyakiti perasaan satu sama lain?

Namun pikiranku itu pecah kala Anas menepuk bahuku. Tangannya menunjuk ke depan di mana Pos 3 sudah terlihat.

Dan ucapan Shelly benar, tidak ada pendaki lain di sana. Hal itu berhasil membuat Juna mendengus kesal kala Shelly mengejeknya habis-habisan.

Di Pos 3, terdapat satu warung kecil dan juga satu kursi panjang yang terbuat dari batang bambu. Warung itu cukup sederhana, juga terbuat dari material kayu. Atapnya didominasi oleh seng, lalu ditopang oleh bambu.

Juna yang pertama kali masuk ke dalam sana, memesan satu kopi hitam. Disusul dengan Shelly dan juga Mia yang langsung masuk setelah meletakkan tas mereka di atas kursi bambu.

Aku tidak berniat untuk masuk ke dalam. Duduk di atas kursi bambu, aku menghela nafas sembari kembali melihat pemandangan yang ada di sekitar.

Pos 3 adalah tempat yang cukup strategis di Gunung Muria. Area datar di sekitar warung ini cukup luas. Ada beberapa tempat dudukan yang bisa digunakan untuk kelompok pendaki lain selain kursi bambu ini.

Selain sarananya yang menurutku sudah cukup jika hanya digunakan untuk tempat peristirahatan sementara, pemandangan di Pos 3 ini sangat mengagumkan. Dari kejauhan, aku bisa melihat air terjun mini.

Coba kalian bayangkan pegunungan asri dengan air terjun yang ada di seberang. Ya Tuhan, aku rasanya menyesal karena telah menghabiskan banyak waktu hanya untuk berdiam diri di rumah. Andaikan aku tahu bahwa alam bebas di sekitarku itu seindah ini, bisa dipastikan aku akan berkelana tanpa henti dan tak tahu kapan untuk pulang.

"Kamu ga beli minuman?" tanya Mia yang ternyata sudah berdiri di sampingku entah sejak kapan.

Gadis itu nampak sedang memakan makanan ringan sembari mengapit satu botol air putih siap minum.

Aku mengerjap lalu menggeleng. "Oh, nggak kok." Meraih tas ku, aku mengeluarkan botol air minum yang sudah ku siapkan. "Aku udah bawa minum, hehe."

Mia mengangguk dan memilih untuk duduk di sampingku.

"Ini beneran kali pertama kamu daki gunung?" tanya gadis itu dan aku membalasnya dengan anggukan.

Ia pun berdehem pelan, "Wah, keren-keren. Aku kira nanti kamu di tengah perjalanan bakal ngerengek buat minta pulang soalnya capek." Jelas Mia, berhasil membuatku terdiam.

Astaga, seburuk itukah bayanganku di dalam kepalanya? Padahal aku tidak ngapa-ngapain loh. Apa bayangan diriku di kepala teman-teman Anas yang lain juga seburuk itu?

Mendengar tapak kaki yang mendekat, aku dan Mia menoleh secara bersamaan.

Di sana ada Shelly, gadis itu menatapku masih dengan ekspresi dinginnya. Membuatku menggerutu dalam hati, apakah gadis itu benar-benar membenciku sekalipun kami berdua belum lama saling kenal?

Melemparkan salah satu botol minum ke arahku, dengan sigap Mia mengulurkan tangannya untuk menangkap botol tersebut sebelum menghantam wajahku.

Dengan ekspresi terkejut, Mia menatap Shelly dengan tatapan tidak percaya.

"Ga waras kamu, Shel." Decaknya.

Shelly melangkah mendekat dan berhenti tepat di hadapanku. Dan sembari menghela nafas, gadis itu memberikan botol air minum yang masih tersegel padaku.

"Payah, kamu ga bisa nangep lemparan." Sindir gadis itu, berhasil membuatku menganga tidak percaya.

Hei hei! Dia tadi baru saja hendak melempar wajahku dengan botol air loh?! Dasar tidak sopan!

Gadis itu berbalik dan melangkah menjauh. "Sebentar lagi kita lanjut muncaknya. Juna bilang kita bakal camp di Pos 5." Jelasnya tanpa berbalik.

Hal itu membuat Mia menghela nafasnya. Dan dengan wajah sungkan, ia menoleh padaku dan tersenyum kaku. "Maaf banget ya, Ras. Kelakuan Shelly emang susah banget buat dinalar."

Hel itu membuatku menggeleng pelan. Sepertinya untuk satu hari ini aku memang harus rela berurusan dengan sikap kurang ajar Shelly.

Ah sudahlah, di sini aku hanya ingin pergi ke puncak, bukannya membuat musuh. Lebih baik aku fokus dengan tujuan awalku yaitu Puncak 29!

***

Hari hari dibully Shelly

PupusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang