Suara jangkrik bisa ku dengar dengan jelas dari dalam tenda kami. Ku eratkan pelukan hangat jaket tebal yang ku pakai, tak ingin terkena oleh udara dingin hutan di malam hari.
Ya, malam ini merupakan malam puncak kegiatan MOS yang sudah kami lakukan selama tiga hari lamanya. Akhirnya setelah semua rasa nyeri di kaki dan juga rasa malu yang berhasil membuat pipiku memerah, acara paling tidak masuk akal ini berakhir juga.
Acara camping hari ini dilakukan sejak tadi pagi. Lokasi yang kami tempati adalah bukit yang letaknya tak jauh dari belakang sekolah.
Sebelum acara ini dilakukan, sudah sejak kemarin masing-masing kelas melakukan koordinasi dengan wali kelas masing-masing.
Untuk kelasku, murid laki-laki dan juga perempuan akan tidur di tenda yang terpisah. Setiap tenda, ditempati oleh enam sampai delapan orang. Dan untungnya, tenda yang digunakan bukanlah tenda kecil yang biasanya hanya muat untuk dua orang.
Di tendaku, ada jumlah enam orang. Aku masih belum mengenal semua orang di sini, sekalipun mereka adalah teman sekelasku. Yang ku kenali hanyalah Rania–yang untungnya berada dalam satu kelompok tenda yang sama dengan diriku–dan juga Nova yang merupakan ketua kelas di kelasku.
Di dalam tenda, kami mengobrol singkat. Menceritakan tentang hal-hal lucu yang terjadi disaat acara MOS dilakukan, dan juga hal lain yang sekiranya bisa menjadi selingan sebelum panitia mengumpulkan kami di tengah spot camping.
Kalau aku sih hanya diam saja. Mengamati ekspresi lucu mereka dan juga mendengarkan cerita mereka yang menurutku cukup aneh. Sembari menggenggam secangkir kopi susu yang manis, aku duduk tegap dengan Rania yang bersandar pada bahuku dan ia juga sesekali menimpali cerita teman-teman yang lain.
Tak lama kemudian bersamaan dengan kopi susu ku yang habis, terdengar suara melengking peluit yang ditiup oleh pembina, membuatku berjengit. Cepat-cepat kami berdiri dan berdesak-desakan untuk keluar dari tenda.
Dengan cepat, kami semua menyesuaikan pada barisan yang sudah setengah terbentuk. Berdiri dengan sikap siap sempurna kala pembina berwajah sangar itu nampak berdiri dengan tegap di depan barisan.
Di samping pembina, nampak Pak Kepala Sekolah yang wajahnya terlihat sedang tersenyum hangat. Mengamati anak didik barunya dengan ekspresi yang terlihat bangga.
Entah bangga karena apa. Mungkin bangga karena ia sudah menyiksa anak barunya ini ya?
Setelah barisan terlihat sudah terisi penuh dan lurus sempurna, barulah sang pembina mundur satu langkah, nampak mempersilakan Pak Kepala Sekolah untuk memberikan sepatah dua patah kata pada anak didik barunya.
Dan tentu saja, seratus persen aku tidak mendengarkan ucapan basa-basi pak tua itu. Bukannya tidak menghormati atau apa, tenang saja, aku masih bersikap sopan kok. Hanya ... aku berpikir bahwa basa-basi seperti ini tidak terlalu penting. Namun ya sudahlah, lebih baik aku melihat-lihat suasana hutan yang ada di sekitar.
"Untuk penutupan acara MOS pada malam hari ini, kami para panitia akan mengadakan acara pensi kecil-kecilan yang akan diikuti oleh para peserta didik dan juga guru dengan sifat sukarela."
Dan dengan itu, kami semua dipersilakan untuk duduk melingkari api unggun yang apinya menjilat-jilat.
Aku menghela nafas, mengeluh dalam hati. Kenapa kami semua harus duduk di atas tanah yang kotor? Padahal tadi kami kan sudah nyaman-nyaman bersantai di dalam tenda yang cukup lebar dan juga hangat.
Lihatlah sekarang. Semua murid duduk berdesak-desakan, bersaing untuk mendapatkan tempat duduk paling depan agar mereka bisa melihat penampilan kawan mereka atau mungkin agar merasa hangat karena duduk di dekat api unggun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pupus
Teen Fiction[Update setiap Senin.] Kembali ke kota kelahiran ku setelah lima tahun lamanya ku pergi, tujuan kedatangan ku kali ini adalah untuk bernostalgia dengan luka lama yang pernah tertoreh di hati ku. Mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan berbagai kena...