Menatap jemari-jemari kedua tanganku yang saling beraut, aku menarik nafas panjang, berharap bahwa itu dapat sedikit menetralkan debaran jantungku yang sejak tadi menggila.
Pukul tujuh malam, aku duduk di meja ini, sendirian, dengan handphone yang ku letakkan di sisi kanan. Sesekali melirik ke arah benda tersebut, seperti sedang berharap untuk sebuah pesan masuk. Dan yah, kenyataannya memang aku sedang menunggu pesan lain yang sekiranya akan dikirimkan olehnya padaku.
Sudah sekitar tiga puluh menit aku menunggu. Beberapa kali, aku bahkan sempat menangkap beberapa pekerja rumah makan ini sedang bercakap-cakap, membicarakanku yang datang sendirian ke sini dan nampak seperti sedang menunggu seseorang untuk datang.
Tidak, kesendirianku mungkin bukanlah hal yang berhasil membuat mereka nampak bertanya-tanya. Yah, mungkin wajah sedihku ini yang sepertinya berhasil membuat mereka khawatir.
Entahlah, aku tidak ingin sibuk membicarakan tentang orang lain yang sedang memperhatikanku.
Siang tadi, aku memutuskan untuk mengambil sebuah keputusan.
Satu minggu semenjak kejadian dimana aku menemukan bahwa ternyata Aldi berselingkuh dengan gadis lain, aku akhirnya mencoba untuk memberanikan diri untuk memutuskan segala perkara yang semakin kusut ini.
Mengirimkan pesan pada Aldi, mengajaknya untuk bertemu di salah satu tempat makan yang tak jauh dari rumahku. Berpikir bahwa setidaknya jika aku menangis nanti, aku bisa pulang ke rumah dengan berlari secepat mungkin.
Lelaki itu mengiyakan ajakanku, berceletuk bahwa ia juga rindu berduaan dengan diriku.
Membaca pesan itu berhasil membuatku mati-matian menahan sebuah erangan agar tak keluar dari mulutku. Merasa kesal, bagaimana lelaki itu berani-beraninya masih bisa bersikap genit padaku kala ia mengkhianatiku?
Astaga, terkadang aku bertanya-tanya darimana datangnya sikap kurang ajar para lelaki yang doyan berselingkuh.
Akhirnya ku putuskan untuk berkumpul ke tempat makan itu sekitar jam enam lebih tiga puluh menit. Dan tentu saja, aku datang lima menit lebih awal. Ibu selalu mengajariku untuk tidak membiarkan orang lain menunggu terlalu lama, setidaknya demi ajaran baik yang diberikan oleh ibuku, aku masih sudi untuk bersopan-santun dengan orang yang menyakitiku.
Aku tau, itu tidak baik. Tapi kalian lebih baik diam saja, aku sedang sebal.
Tiga puluh lima menit sudah berlalu, dan saat itulah aku bisa mendengar suara knalpot motor Aldi yang memekakkan telinga mulai mendekati tempat makan.
Menoleh ke arah pintu masuk, aku bisa melihat sosoknya berjalan ke arahku dengan senyum lebarnya. Melambaikan tangan padaku, dan duduk di hadapan ku.
"Halo cantik, udah lama ya nunggunya?" Tanya Aldi dengan nada suara yang entah kenapa terdengar sangat menyebalkan.
Aku menghela nafas sepelan mungkin, masih tak ingin bersikap tidak sopan pada lelaki yang tak tahu malu ini.
Menghindari pandangannya, aku menopang dagu. "Hm? Ya ... lumayan sih, kamu telat setengah jam lebih." Balasanku berhasil membuat senyum di wajahnya menghilang.
Menggaruk belakang lehernya yang ku tebak tak gatal, lelaki itu tersenyum masam.
"Maaf ya, Ras. Aku tadi beneran lupa kalau kamu ngajak ke sini. Pas kamu kirim pesan terakhir itu ke aku, aku langsung tancap gas sekenceng mungkin biar bisa sampai ke sini." Jelasnya, aku tak tahu apakah itu kenyataan atau hanya bualan yang ia buat.
Mendengus, aku melambaikan tangan. "Ya terserah lah, lagian kamu kan udah sampe di sini, jadi juga menurutku ga terlalu penting untuk dibahas terus-terusan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pupus
Teen Fiction[Update setiap Senin.] Kembali ke kota kelahiran ku setelah lima tahun lamanya ku pergi, tujuan kedatangan ku kali ini adalah untuk bernostalgia dengan luka lama yang pernah tertoreh di hati ku. Mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan berbagai kena...