"Seperti itulah kisahku." Aram mengakhiri kisahn yang diikuti dengan melahap potongan terakhir dari cheese cake nya,
"Oh! sungguh, masalalu yang menyedihkan. Tapi..." Rimala meneguk ludahnya "Maaf sebelumnya. Sebenarnya yang ingin kudengar adalah kisahmu bagaimana bisa sukses seperti sekarang ini. Hehehe.." Ia menggaruk-garukkan kepalanya.
" Are you kidding now? kenapa kau membiarkanku tetap bercerita Panjang lebar hah!?" Rimala memukul meja dengan kedua tangannya, membuat semua orang dicafe itu berhasil menatapnya.
" Habisnya, Kamu terlihat terlalu asik bercerita. Aku tidak enak memotongnya begitu saja.".
" Mana ada yang Namanya 'asik' jika bercerita masa lalu kelam!? Apa kau tidak melihat ekspresiku yang selalu bercerita dengan sedih hah!? How fools!"
" Shtt.. semua orang melihat mu Aram." Rimala berusaha menenangkan kekesalan Aram " Jadi, bisakah kau ceritakan lagi, kali ini cerita yang benar? Aku mohonnn.." Rimala memohon dengan mata berbinarnya.
" Aku menamatkan sekolah dengan nilai tertinggi. Kemudian pindah pergi jauh keluar kota, seorang diri. Mendapat Beasiswa keluar negri di Harvard hingga S3. Bekerja sambilan, belajar, organisasi. Hidup mandiri seperti anak rantau lainnya. Mendapatkan dua puluh lima penghargaan dalam kampus maupun lomba. Lulus dengan cumlaude. Bertemu Ratu Inggris. Membangun bisnis hingga mendunia. Membentuk 'Beasiswa Kreatif'. Menjadi rektorat termuda dan berakhir menjadi seorang motivator. Tamat." Aram mengatakan semua itu dengan intonasi cepat, hingga membuat rimala membulatkan mulutnya.
"OH! Are you serious?" Rimala memandang tak percaya.
"Astaga! Itu semua benar apa adanya! Apa aku terlihat berbohong!?"
" Oke!Oke!. please, don't be mad." Rimala berusaha tersenyum manis.
" Not mad. Just Furious.
"Oh! Cmon! That two words have the same meaning!."
" Kau tahu dimana Ita?" Aram mengganti topik.
" Ah.. dia sedang ada hal mendesak. Makanya tidak bisa mampir."
" Kalau begitu, aku pergi dulu. Aku ada janji lain setelah ini." Aram beranjak dari tempatnya.
" Tunggu. Ini untukmu." Rimala memberikan sebuah lipatan kertas pada Aram
" Apa ini?" Aram menerima kertas itu
" Nanti saja kau baca." Rimala tersenyum penuh arti. " Sampai Jumpa Aram! Akan kusampaikan salammu pada Ita nanti. Oh! dan ini kue untukmu. Terimakasih sudah mau meluangkan waktumu." Rimala melambaikan tangan pada Aram
Aram mengangguk tersenyum dan pergi keluar café. Ia berjalan sepanjang jalan menuju lokasi yang tak jauh dari tempatnya tadi.
Drrttt. Langkahnya terhenti, ketika mendengar bunyi dering dari ponselnya. Ia memutuskan untuk duduk di kursi yang tersedia di depan suatu pertokoan.
" Halo? Iya habis ini aku sampai. Iya A-"
" Nak, Bisakah kau membagikan kuemu padaku?" Seorang kakek-kakek tua menyodorkan tangannya tanda meminta pada Aram.
Aram diam karena menoleh melihat kakek-kakek tua itu, berdiri disampingnya. "maaf, nanti kita bicarakan lagi." Aram mematikan panggilannya dan tersenyum pada kakek itu. " mari duduk kek." Aram menggeserkan badannya, memberikan ruang pada kakek itu untuk duduk. "Ini silahkan. Untuk kakek saja"
" Loh? Apa sebaiknya tidak membaginya saja? Bagaimana denganmu, nak?"
" Aram tidak lapar kok, kek." Aram tersenyum.
Ia melihat kakek itu mulai memakan kue yang tadi dibawanya. Dalam hatinya ia meminta maaf pada Rimala karena tidak memakanya, karena ada orang lain yang lebih butuh daripada dirinya.
" Terimakasih nak Aram."
" lho? Kakek kok tahu nama saya?" Aram memiringkan kepalanya tanda bingung.
" Bukankah kamu barusan menyebut dirimu dengan nama Aram?"
Aram terdiam berusaha mengingat-ingat. " Oh iya!. Hahaha, semakin besar sepertinya menjadikan aku sering mudah lupa."
" Kalau kamu diberi dua pilihan. Anatar, 'dua kebahagiaan satu kesedihan'. Dan dua kesedihan lalu satu kebahagiaan' apa yang akan nak Nilam pilih?." Kakek itu mengakhiri pertanyaannya dengan melihatku.
Aram terdiam. Seperti pernah mendengar pertanyaan itu semasa hidupnya, lantas ia membulatkan matanya. "K-kk-Kakek yang saat itu!?"
Kakek itu hanya tersenyum. " Bagaimana hidupmu?"
Aram tersenyum merkah sepertinya mengerti. " Aku Bahagia kek."
"Oh.. Begitu rupanya.. Baguslah.." kakek itu menangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, menghabiskan potongan terakhir kue yang dimakannya. " Lantas apa jawabanmu nak Aram?"
" Aku tak memilih apapun."
" Kenapa seperti itu?"
" Mulai sekarang, aku yang akan memilih sendiri takdir hidupku. Apapun yang akan kuhadapi nantinya, biarlah semua itu tetap menjadi sebuah kejutan. Aku akan terus berusaha, melangkah demi langkah, hingga akhir jalan itu tertuju." Aram tersenyum
" Baiklah. Semua itu adalah pilihanmu. Jangan pernah menyesali setiap pilihanmu."
"Tidak akan!" Aram menjawab dengan mantap, lantas pamit untuk pergi karena ada janji yang harus ia temui.
Langkah Aram terhenti karena lampu merah penyebrangan. Ia menunggu dengan sabar. Lantas teringat akan kertas yang diberikan Rimala. Ia mengeluarkan kertas itu dari saku dan membacanya.
Hai Temu!. Salam dari Rindu.
Aram tersenyum. pesan singkat dan kata-kata itu. Ia tahu siapa pengirim surat ini. Aram melihat sekeliling, menjinjit berusaha mencari sosoknya ditengah kerumunan orang. Pandangannya jatuh pada sisi lain penyebrangan. Berdiri seorang pria tampan, bertubuh tinggi dengan hoodie dan celana jeans khasnya. Pria itu tesnyum padanya. Adam!.
Aram mebulatkan matanya tak percaya. Ia tersenyum bahagia. Mengambil Langkah untuk bertemu dengan sosok yang pernah ada dalam kisahnya.
Brakkk!!!
***
" Ini bukanlah sebuah akhir. Melainkan awal dari terbentuknya sebuah takdir."
Sapai temu. Salam rindu"
The End-
***
Halo! ini cerita pertamaku di WP, tolong bantu like, share juga :". Kritik dari kalian pun pasti sangat membantu <3.
Thankss!
KAMU SEDANG MEMBACA
T E M A R A M
Romansa" Ini memang tentang diriku. Tapi ini juga bagian dari dirikau. Aku. Kamu. Kita. Dan kalian. Panorama ini akan tetap berlangsung. Menjadi pemanis dari tiap rasa. Menjadi pengisi dari tiap ruang hampa. Sebuah narasi indah. Berbumbu paradigma pengguga...