👑Draf 17👑

61 13 0
                                    

Hi:")

👑👑👑

"Sudah selesai latihannya Jeno?" Minhyun berpapasan dengan Jeno yang hendak pergi ke Light Room, dan belakangan ini menjadi kebiasaannya setiap hari.

"Bagaimana Mark?" Tanya raja Minhyun. "Yah...." Jeno bahkan tidak bisa menentukan kata yang tepat untuk menjelaskan.

"Seperti biasa" Jeno tersenyum, namun Minhyun tau senyum yang Jeno perlihatkan sekarang hasil dari keterpaksaan.

"Aku duluan Ayah" ia mengerti, sebab tatapan Minhyun berubah sendu. Ia hanya tak ingin membuat semua orang khawatir, Ia baik baik saja, sungguh.

Mereka berpisah, "Masuklah, Mark pasti menunggumu" Jeno mengangguk, memasuki ruangan. Meninggalkan Minhyun yang melihat punggung rapuh itu menghilang di balik pintu.

Pintu ruangan di tutupnya pelan, ia berbalik, menyandarkan punggungnya disana. Seperti pertamakali, peti berada tepat di tengah ruangan, dibawah cahaya yang menyirami tubuh dibawahnya.

Jeno berjalan mendekat, menyeret satu kursi bersamanya. Meletakknya tepat di samping peti yang terbuka.

Masih dengan pakaian yang sama, embel-embel kebesaran juga masih menggantung di kanan-kiri bahunya yang tegap. Jeno menatapnya dengan wajah sayu.

Bukan tanpa alasan mereka masih meletakkan tubuh bernyawa Mark didalam peti, diruang kematian. Walaupun ini sebernya sangat menyiksa mereka yang hampir kehilangan harapan "Apa benar Mark akan kembali?"  Itu yang menjadi pikiran semua orang.
Tapi ini adalah perintah Tiga Serangkai untuk tetap meletakan tubuh Mark disana, bersama barang barang yang ia gunakan terkahir kali.

Jika menunduk sedikit saja Jeno bisa dengan jelas melihat baju Mark yang penuh darah terlipak rapih dibawah peti tempatnya tertidur.

Jeno mendongkak, silau. Dari sanalah cahaya yang digadang gadang menunjukkan jalan pulang menuju pencipta datang. Selalu mengingatkannya akan kematian kakaknya. Saat saat Mark akan pergi tuk selamanya.

"Hyung.." Jeno berucap lirih. "Aku lelah, hiks.." Jeno mulai terisak, kepalanya ia tenggelamkan pada lipatan tangan yang ia tumpukkan di atas peti.

"Hyung aku lelah ...." isakanya berubah tangis "Namun aku juga sangat merindukannmu.." suaranya teredam, kepalanya makin ia tenggelamkan. Seharusnya ia tidak menangis, tidak dihadapan Mark.

"Hyung ak....aa...ak.." Tersendat, ia tak bisa berkata-kata. Ia juga bingung dengan semua yang terjadi. Apakah kakaknya masih hidup atau tidak, bukannya ia tidak percaya pada kehebatan Tiga Serangkai.

Hanya saja ia lelah menunggu-nunggu. Kapan hingga akhirnya kakaknya akan bangun, kembali seperti semua seolah tak pernah terjadi apa apa. 101 hari, mungkin sebentar, tapi rasanya seperti di neraka. Ia terbelenggu harapan semu, ketidakpercayaan yang membuncah semakin memperburuk.

Dalam ruangan itu hanya terdengar tangis Jeno yang menggema. Setelah sekian lama akhirnya Jeno sadar bahwa ia harus tenang, menghapus air mata dengan lengan baju yang bahas dengan keringat dan air mata.

"Uwha!!" Karna kaget Jeno terjungkal dri kursinya, 'Duk!' Punggunya membentur tembok.

"Hahh?!" Tangannya menggosok mata dengan keras, berharap bahwa penglihatannya tidak keliru.

Di depan sana, didalam peti mati Mark membuka matanya.

Perlahan Jeno bangkit mendekati peti. Dengan takut takut mengintip kedalam.

"H..hyung..." panggilnya pelan. Mark yang berada didalam peti tak merespon, pandangannya hanya fokus keatas, namun ia akhirnya menoleh pada Jeno, dengan tatapan datar dan tanpa suara.

"APPPA!!!!" Terbirit Jen keluar dari Light Room. Meneriakkan nama Ayahnya di sepanjang lorong, berharap ada yang menyahutinya, entah itu Daniel atau Minhyung ia tak peduli. Siapapun, Jeno butuh seseorang sekarang!

🌍🌏🌎

"Mereka sudah menemukannya?"
"Sudah Yang Mulia"
"Sungguh?"
"Hamba berani bersumpah bahwa mereka sudah benar benar menemukannya" Raja Namjoon mengalihkan pandangan dari berkas berkas kerajaan yang harus ia tanda tangani.

Sejenak ia sandarkan punggungnya pada kursi. Sudah berjam-jam dirinya menunduk, berkutat dengan kertas kertas yang datang tak berkesudahan.
Namjoon tak pernah menyukainya.

Penglihatannya menjelajahi ruangan. Namjoon menatap pedang berkilat yang terpajang di atas dinding pintu.

Melihat rajanya hanya melamun, sang pembawa pesan berinisiatif mengundurkan diri.

"Siapa yang menyuruhmu pergi" suaranya datar, namun mampu membuat pelayan itu tersensak, langkah mundurnya berhenti seketika. Ia membeku hanya karna intonasi raja yang datar. Bagaimana jika ia terjebak dengan raja yang mengamuk? Tak terbayangkan.

"Ma..maafkan saya yang Mulia!" Pelayan itu buru buru bersujud  memohon ampun, mengatakan akan melakukan apa saja selama Raja memaafkannya.
Tapi Raja Namjoon sama sekali tak peduli.

"Siapa yang mereka kejar. Kau tau?"
Pelayan itu menjawab dengan suara gemetar. "Mo..mohon Mmaafkan hamba yang mulia, sama sekali tidak ada petuntuk siapa yang mereka kejar. Kejadian itu terlalu mendadak, sebuah ketidaksengajaan"

"Lalu"

"Sepertinya musuh itu berhasil kabur. Meninggalkan seluruh pasukan kita yang mati terbunuh"

"Termasuk jendral Boby?"

"Benar yang mulia, termasuk jendral Boby. Kami menemukan mayatnya dalam keadaan mengenaskan"

"Apa penyebab kematiannya"

"Sabetan pedang" Namjoon melambai, mengusir
"Kau boleh pergi"

Namjoon menyentuh dagunya yang ditumbuhi rambut tipis, sembari kembali menatap pedang yang menggantung.

Tangannya gatal, dirinya merindukan adrenalin saat satu persatu tubuh musuh berjatuhan karnanya, berperang.

Ia merindukan semuanya.

TBC


One Hundred Jopping [SuperM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang