2. Buku Cerita & Cokelat Panas {Part 1}

68.4K 4K 354
                                    

"Happiness, simple as a glass of chocolate or tortuous as the heart. Bitter. Sweet. Alive." - Joanne Harris, Chocolat.

Untuk Raffael Leonardi,
(Yang bertingkah seperti rockstar terkenal namun meminta ekstra marshmallow untuk cokelat panasnya.)

Bonjour, Raffa.

Kali ini aku sedang berada di kereta api yang melintas menuju Paris, The City of Lights. Kota yang dikenal akan menara Eiffel dan identik dengan lambang cinta. Di luar hujan deras,Raf. Butir-butir air serta embun yang menempel di jendela kereta membuat suasana semakin melankolis. Benar-benar waktu yang tepat bagiku untuk merapatkan sweaterku dan kembali memutar memori tentang kita.

Tadinya aku sedang membaca buku Paper Towns karya John Green. Buku yang menjadi hadiah ulang tahunku yang ke lima belas. Berkisah tentang seorang perempuan cantik bernama Margot yang mencintai petualangan dan seorang laki-laki bernama Quentin yang mencintai Margot sebesar gadis itu mencintai petualangan. Selain petualangan, Margot juga sangat menyukai misteri. She loves mystery so much that she become one, adalah salah satu kutipan favoritku dalam buku itu. Semuanya bermula di suatu malam saat Margot mengajak Quentin menjalankan sebuah misi. Melemparkan laki-laki itu memasuki dunia kecilnya, menyelam dalam untuk memahami bagaimana seorang Margo Roth Spiegelman sebenarnya. Namun setelah fajar menyingsing dan misi itu berakhir, Margo hilang bagai ditelan Bumi.

Maka dimulailah petualangan Quentin untuk menemukan Margo. Semua upaya rela dilakukannya tanpa kenal lelah. Semangatnya selalu membara setiap kali Quentin berhasil menemukan satu petunjuk kecil tentang keberadaan Margo yang bagaikan sengaja ditinggalkan untuknya sementara gadis itu bertualang entah kemana.

Apakah kamu tau kenapa aku menulis tentang mereka, Raf?

Karena sadar atau tidak sadar, kisah merekalah yang membawa kita kepada satu sama lain.

Oh, dan tak lupa juga, kecintaanmu terhadap musik.

Hari itu, tepat satu minggu setelah hari pertama MOS berlangsung, aku datang ke sekolah sendirian. Cacar yang di derita Noah ternyata cukup parah, sehingga mengharuskan laki-laki malang itu untuk beristirahat dirumah lebih lama dari seharusnya. Dengan cepat aku melangkah menuju papan pengumuman untuk mencari tahu di kelas mana aku ditempatkan. Mataku langsung memindai puluhan baris penuh nama dihadapanku. Dan begitu aku menemukan namaku serta Noah yang diletakkan di kelas yang sama, aku langsung menghembuskan nafas lega. Setidaknya jika kedepannya aku tidak memiliki teman di kelas, aku akan selalu punya Noah disampingku. Dan aku bersyukur akan hal itu.

Di kelas, kami melakukan cabut nomor untuk menentukan siapa teman sebangku kami. Aku mendapat nomor 28, yang berarti aku akan mendapatkan tempat duduk di belakang. Tidak masalah buatku. Setidaknya aku bisa menutupi wajahku yang mengantuk pada pelajaran yang membosankan nantinya. Teman sebangku ku dengan nomor 27 bernama Maura. Cantik, cukup tinggi dengan rambut yang di potong sebahu dan cardigan khasmir berwarna merah mudah yang tak pernah dilepasnya.

Kami diberi free class hari itu. Kata wali kelasku sebaiknya kami mengakrabkan diri terlebih dahulu satu sama lain. Tidak ada yang spesial diantara obrolanku dengan anak perempuan lainnya. Mereka sibuk membicarakan liptint keluaran terbaru serta sale besar-besaran oleh salah satu toko dengan brand yang cukup terkenal. Sementara aku mana tahu menahu tentang hal seperti itu. Aku baru saja akan bangkit dari tempat dudukku dan memilih untuk menyendiri sambil membaca buku saat aku mendengar salah satu temanku yang bernama Citra mendeklarasikan kalau ia menyukai seorang kakak kelas yang selalu membawa gitar kemanapun ia pergi.

Cepat-cepat aku kembali duduk manis, menajamkan telingaku dan berusaha menyerap semua informasi yang bisa aku dapat. Meskipun aku tidak tahu siapa yang Citra bicarakan namun entah kenapa saat itu aku yakin kalau orang itu adalah kamu. Kalau ku pikir-pikir lagi, betapa bodohnya aku waktu itu. Aku bahkan tak tau nama kamu dan kita hanya bertemu satu kali. Lalu kenapa begitu mendengar teman-temanku berbicara tentang kamu, aku langsung semangat sendiri? Seakan-akan dapat mengetahui sedikit hal tentangmu mampu membuat hariku menjadi lebih baik.

Unsent LettersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang