1. Sepenggal Lagu Masa Kecil

107K 5.9K 314
                                    

"Wait, i think we're on something we can't run from. Fate." - Cinderblock Garden, All Time Low.

***

Untuk Raffael Leonardi,
(Yang selalu membawa gitar penuh stiker lusuh kemana pun ia pergi.)

Halo, Raffa.

Sore ini aku sedang berada di sebuah kota kecil di Roma yang bernama Montefascone, menikmati anggur di pinggir danau yang tenang, sendirian. Suasana disini benar-benar menyenangkan, Raf. Kalau kamu ada disini kamu pasti langsung menobatkan tempat ini sebagai tempat favoritmu yang entah keberapa. Kamu punya terlalu banyak tempat favorit, sih.

Tahu tidak, Raf, aku bahkan bisa membayangkan kehadiran kamu disini. Dengan mata terpejam dan punggung yang disandarkan, jari-jarimu memetik senar gitar dengan lembut, mengalunkan melodi-melodi indah yang selalu dapat menggoreskan senyum manis di bibirku.

Tapi lagi-lagi aku terlalu banyak bermimpi. Kamu tidak ada disini. Bahkan sudah sejak lama pergi.

Mau tak mau, suasana ini membuatku memutar memori tentang kita. Saat dimana aku pertama kali bertemu dengan kamu. Dan aku akan menuliskannya kembali di surat ini. Sehingga apa yang sempat kita miliki tidak akan lenyap begitu saja ditelan waktu.

Aku masih ingat hari itu.
Bulan Juli, tahun ajaran baru.
Hari pertamaku jadi murid SMA.

Aku datang ke sekolah sendirian dalam balutan seragam SMP yang roknya sudah pendek karena tinggiku yang bertambah selama liburan serta rambut yang di kuncir dua dengan pita warna-warni. Tak lupa pula bet nama yang terbuat dari karton selebar pinggang yang di kalungkan. Berbagai gambar abstrak dengan warna cerah ikut menghiasi karton itu, bersanding dengan huruf yang membentuk kata 'Kejora' yang ditulis dalam huruf balok.

Hari itu seharusnya aku datang dengan Noah, sahabatku sejak aku masih di taman kanak-kanak. Namun sialnya Noah terkena cacar beberapa hari yang lalu sehingga ia tidak dapat menghadiri masa orientasi. Bahkan mungkin Noah tidak akan masuk di minggu pertama sekolah, meninggalkanku sendirian di lembah antah berantah yang tidak familiar ini.

Tak terhitung sudah berapa kali aku menarik rok yang kukenakan dengan tidak nyaman saat para senior menyuruh kami berbaris di tengah teriknya matahari. Tak henti-hentinya mereka meneriakkan peraturan-peraturan beserta sanksi yang akan dikenakan jika kami melakukan pelanggaran dalam suara lantang. Sesekali mereka akan menghampiri satu dua murid, menanyai mereka dengan nada galak yang dibuat-buat, membuat murid baru itu takut setengah mati.

Aku bukanlah tipe gadis frontal yang dengan tanpa beban bisa muncul secara tiba-tiba untuk membela apa yang ku anggap benar. Aku, yah, cuma aku. Lucillia Kejora, yang lebih memilih menjadi kasat mata daripada pusat perhatian. Lalu apa yang bisa kamu harapkan dari gadis biasa seperti aku? Meskipun aku membenci perlakuan para senior yang semena-mena, toh aku lebih memih menunduk dan diam.

Hari itu, aku mati-matian menutupi tubuhku yang kurus dan tidak terlalu tinggi dari mata para senior. Berharap sosokku ini cukup kasat mata sehingga mereka tak akan mengerjaiku. Kalau perlu, aku ingin mereka tidak menyadari kehadiranku sekalian. Tapi sepertinya Dewi Fortuna tidak berada di pihakku hari itu karena para senior malah dengan senang hati menunjukku, menyuruhku untuk melakukan berbagai tingkah konyol di depan semua orang.

Tentu saja aku menolak mentah-mentah. Kamu yang paling tau itu, Raf. Aku benci dipermalukan di depan umum, benci jadi tertawaan orang banyak. Namun hari itu para senioren bertingkah seakan merekalah yang berkuasa. Mereka berteriak di depan wajahku, mengataiku tidak sopan dan belagu saat aku menolak. Pada akhirnya mereka menggiringku ke halaman belakang sekolah, tempat dimana matahari bersinar sangat terik dan menyuruhku berdiri disana sampai acara hari itu usai.

Unsent LettersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang