6. Aku, Kamu dan Kita

38.7K 2.9K 484
                                    

"If everything could ever be this real forever, if anything could ever be this good again." - Everlong, Foo Fighters.

***

Untuk Raffael Leonardi,
(Yang selalu berhasil membuatku merasa seakan aku ini merupakan satu bagian penting di dalam kehidupannya.)

Halo, Raffa.

Hari ini, hari terakhirku di kota Venice.
Yah, jujur, aku sedikit tidak rela untuk meninggalkan kota ini. Aku masih ingin berada di sini lebih lama lagi. Duduk sendirian di balkon hotel sambil menatap sungai jernih yang mengelilingi kota dengan secangkir cokelat panas sambil memutar kembali kisah tentang kita yang manis, namun sayangnya berakhir tragis.

Berada di kota ini, setidaknya membuatku sadar akan satu hal; bahwa semua yang terjadi kepada kita, memang sudah seharusnya berjalan seperti itu.

Mungkin, jika kita masih bersama sekarang, kita berdua tidak bisa mencapai impian kita. Mungkin aku tidak akan mengenakan jas putih dan menyandang gelar Dokter, sedangkan kamu mungkin tidak akan bisa merilis lima album dan menjalankan tur keliling dunia.

Aku rasa ini yang terbaik untuk kita.

Tapi kalau memang ini yang terbaik, kenapa rasanya sakit sekali, Raf?

Aku masih ingat malam itu. Malam sendu bertahun-tahun silam yang aku lewati sendiri di tengah keramaian London karena kamu memilih untuk menyerah akan apa yang kita miliki. Aku ingat saat Noah datang berkunjung dan mengetuk pintu kamarku. Ia tersenyum tipis, menatap wajah sembabku dengan simpati sambil mengulurkan sebuah kotak kecil.

Tanpa rasa antusias, kuraih kotak tersebut dan kubuka perlahan. Saat itu, aku menemukan sekeping CD. Sebuah album, lebih tepatnya. Covernya terdiri dari empat orang laki-laki dalam pakaian kasual dengan dominasi warna hitam. Huruf balok berwarna putih tercetak besar, menuliskan kata Constant Star.

Detik itu, adalah detik dimana aku sadar, kalau mungkin memang sudah seperti ini jalannya. Kamu dengan kehidupanmu, dan aku dengan kehidupanku. Hanya ini satu-satunya cara agar kamu bisa mencapai impian kamu. Waktu itu senyum lebar terukir di wajahku, bersamaan dengan air mata yang mulai mengalir deras dari kedua mataku.

Aku menangis bukan karena aku bersedih, Raf. Aku menangis karena aku bangga pada kamu. Bangga akan semua usaha dan kerja keras yang kamu tempuh demi mewujudkan impianmu. Meskipun kamu mengorbankan hubungan kita, satu hal yang harus kamu tau, Raffa;

Aku selalu bangga pada kamu.

***

Jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam saat aku tiba di kafe tempat kamu melaksanakan gig kecil-kecilan malam itu. Cepat-cepat aku serahkan tiket dalam genggamanku kepada salah seorang penjaga bertubuh kurus yang berdiri di depan pintu dan segera melangkah masuk.

Kafe itu terasa penuh sesak. Aku bisa mencium bau asap rokok yang bercampur dengan keringat, benar-benar menyengat. Kamu yang paling tau, Raf, aku benci asap rokok. Aku juga membenci setiap orang yang menghisap benda tersebut, sangat memuakkan, menurutku. Tapi malam itu, demi melihat penampilan kamu, aku rela berdesak-desakkan diantara puluhan pengunjung lainnya. Berdiri sekitar beberapa meter dari panggung sambil memeluk diriku sendiri.

Di kanan dan kiriku, semuanya hanyalah lautan orang asing. Aku tidak pernah nyaman berada di sekitar orang yang tidak aku kenali. Tapi malam itu aku tidak perduli. Fokusku hanya satu; kamu.

Awalnya aku mengira kalau aku sudah terlambat. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan dan kemungkinan besar kamu telah selesai bernyanyi, atau lebih buruknya lagi, kamu sudah pulang. Namun beruntungnya aku, aku bisa menghela nafas lega saat perempuan manis dengan gitar akustik yang sedari tadi bernyanyi diatas panggung undur diri dan mengumumkan kalau band berikutnya yang akan tampil adalah Constant Star.

Unsent LettersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang