20 ~ Always Barra~

646 58 8
                                    

Ruang bawah tanah dengan ukuran 2m x 3 m persegi itu terlihat gelap, kusam dan meninggalkan bau busuk yang menyengat.

Di ruang sempit itu, Barra dengan tubuh penuh luka, berusaha bangkit, langkahnya terserok dan sesekali terjatuh karena tak kuasa menahan rasa perih yang menjalar tubuhnya.

"Maa.."Barra terisak. Dia merasa payah dengan dirinya yang sekarang. Kenapa ia mudah sekali menangis?

Bukankah dia sering merasakan hal seperti ini?
Pukulan. Cambukan,bahkan sayatan sudah pernah ia rasakan. Namun,kenapa air matanya begitu mudah keluar.

Tidak ada lagi yang bisa Barra lakukan sekarang. 20 cambukan, sudah cukup membuat nya tidak berdaya.Tubuhnya lemas, kepalanya seakan berputar tanpa henti. Jangankan untuk berdiri, hanya untuk membuka kelopak mata saja seakan sekarat.

Atau mungkin dia sedang sekarat?

Barra harap juga seperti itu. Dia benci dengan kehidupan nya yang hanya dipenuhi dengan rasa sakit dan ketidak nyamanan.

Beberapa menit berlalu tapi Barra sudah pasrah dengan keadaannya yang sekarang. Dia tidak akan berharap banyak.

Jika ini hari terakhir nya, dia sangat bersyukur.

Dan jika dia masih diberi kesempatan untuk hidup, Barra harap dia mati saja.

"Barra....."Suara seorang pria terdengar begitu lembut di pendengaran Barra

"Ayah"

Pria yang hampir menginjak umur setengah abad itu berjongkok kemudian mengelus rambut Barra singkat. Dia membantu anaknya berdiri kemudian membawa Barra ke dalam kamarnya, mengambil peralatan P3K lalu merawat luka anaknya begitu hati hati dan teliti.

Barra sesekali meringis kesakitan saat cairan berwarna coklat yang ayahnya beri mulai meresap ke dalam kulit punggungnya. Perih. Panas. Semua rasa sakit itu bercampur menjadi satu.

Beberapa menit berlalu. Dirgi Maherza Putera sang pelaku utama yang membuat Barra begitu tersiksa ,terus saja mengobati anaknya dengan cinta dan kasih sayang.

YA DENGAN CINTA DAN KASIH SAYANG

Itulah Dirgi, perpaduan sifat yang serasi antara setan dan malaikat .Dia yang melukai anaknya dan dia juga yang menyembuhkan nya. Pria itu berjalan ke arah lemari lalu mengambil seragam sekolah milik Barra "Pakai"

Barra menunduk. Haruskah? Dia tidak ingin berangkat ke sekolah hari ini, tubuhnya seakan remuk, dan hatinya belum benar-benar siap untuk bertemu dengan banyak orang

"Iya" Tidak ada perlawanan, dengan terpaksa, Barra mengikuti keinginan ayahnya, apapun akan ia lakukan agar pria itu bisa menerima Barra dalam hidupnya.

Semua berjalan seperti biasa. Beberapa hari terakhir, Barra selalu diantar oleh Dirgi. Barra tidak malu ataupun risih, hanya saja...Barra merasa hidupnya terlalu dikekang dan  banyak aturan.

Sejak kecil, Barra selalu dituntut menjadi anak yang sempurna. Satu saja kesalahan kecil yang ia lakukan, ayahnya akan menghukum dia dengan cara yang kasar.

Barra ingin bebas. Dia juga ingin merasakan kebahagiaan di hidup nya, tidak hanya kekanggan dan penderitaan yang ia rasakan.

"Hati - hati"

Barra tersenyum singkat saat mobil ayahnya berhenti di depan gerbang sekolah. Dia berjalan santai menuju ruang UKS. Meskipun harinya suram, jangan sampai ada yang mengetahuinya. Dia tidak ingin terlihat lemah. Merepotkan.

Hari ini Barra tidak akan mengikuti pelajaran apapun. Persetan dengan nilai. Sebenarnya Barra tidak peduli dengan hal hal seperti itu, jika bukan karena ayahnya, tentu saja dia akan menjadi anak yang bebas dan melakukan apapun yang ia sukai.

"Zia" Barra kaget saat melihat perempuan itu berada di ruang UKS. Zia tersenyum kemudian menyapa kakak kelasnya itu

"Hai"

"Lo piket hari ini?"

"Iya, kak Barra ngapain ke sini?"

"Kurang enak badan"

"Serius?" Zia mendekat, dia menempelkan punggung tangannya ke dahi cowok itu.panas
"Tidur aja,gue ambilin obat ya"

Barra mengangguk. Dia duduk di bangker UKS sambil memegang kepalanya yang terasa sakit.
"Zia...."

Zia menyodorkan obat dan air hangat untuk Barra. Dia tidak tega melihat cowok itu terlihat pucat dan lemas.

"Lagi?"

Barra mengangguk. Dia tau maksud dari pertanyaan Zia. Tidak ada yang ia tutup tutupi dari perempuan sebaik Zia.Barra tidak pernah terbuka pada siapapun, hanya di depan Zia, dia mampu memperlihatkan kekurangannya.

Tangan kanan Zia terangkat untuk mengusap rambut milik Barra. Tidak ada percakapan. Zia tau bagaimana keadaan cowok itu sekarang.

Raut wajah Barra sudah cukup menggambarkan betapa hancurnya ia.

"Maaf"Barra tertunduk

"Lo gak salah" Zia membawa Barra ke dalam pelukannya. Dia mengusap punggung itu pelan

"Sakit zi"

"Eeeh iya maaf"

Zia memilin bibir bawahnya gugup. Apakah yang ia lakukan sekarang benar?Jika Lion melihatnya seperti ini, apakah cowok itu akan mengerti?Kepala Zia penuh dengan pertanyaan yang sebenarnya sudah ia ketahui jawabannya.

"Kak....kenapa Lo gak ngelawan?"

Barra melepas pelukannya "Apa Lo pikir ini gampang buat gue?"

Zia menggeleng

"Gampang buat gue ngelawan" Barra melanjutkan

Zia mencoba tersenyum. Sakit rasanya melihat orang yang ia sayang, terus mengalami penderitaan.

"Gue gak kuat Zi"

Zia kembali membawa Barra ke dalam pelukannya. Cowok itu semakin lemas, tubuh nya terasa panas, kulit nya seakan terbakar karena menahan perih yang mulai menjalar akibat efek obat yang ayahnya berikan tadi.

Barra lelah. Tubuhnya sakit. Hatinya terluka.

"Gue gak tau harus ngapain"Barra menenggelamkan wajahnya pada bahu perempuan yang ia anggap sebagai tempat untuk pulang itu.

"Gue gak bisa ngelawan meskipun gue pingin. Gue lemah. Gak berguna"

"Lo berharga buat gue"

"Lo selalu di pihak Lion, gue cuma pengen Zia Altaria buat gue. Bukan Lion atau siapapun"

"Kak...."

"Gue tau gue egois, apa gue gak berhak bahagia?"

"Lo berhak kak----"

"Tinggalin Lion demi gue"

Zia diam. Apa yang harus dia lakukan?

MY PET LION [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang