Part: 4

6K 485 30
                                    

Gorden di kamar Cakra masih tertutup rapat, bahkan matahari di luar masih belum terlihat. Itu berarti hari masih sangat pagi, namun Cakra sudah terbangun dari tidurnya. Di samping kanannya ada Bunda yang masih nampak nyaman tertidur, sementara sang Ayah di samping kirinya memeluk erat Cakra yang kini masih bengong menatap langit-langit kamarnya.

"Ayah." Panggil Cakra pelan sembari melepaskan tangan sang Ayah yang melingkar di perutnya itu.

Ayah Bima termasuk orang yang peka pendengarannya, tak ayal lelaki tua itu langsung terbangun saat sang Putra memanggilnya. Meski matanya masih sangat mengantuk, mengingat semalaman tubuh jomponya dipaksa menggendong Cakra yang kalo sakit rewelnya minta ampun. Apalagi kemarin Cakra kambuhnya cukup parah, maka saat Ayah geser sedikit saja Bungsunya itu akan menangis keras.

Bukan cuma Ayah, hampir seisi rumah bahkan tidak bisa tidur nyenyak. Asmanya Cakra kambuh lebih parah dari biasanya, jadi saat dibaringkan Cakra akan menangis lagi dan mengeluh sesak. Ditambah tubuhnya yang demam tinggi, sudah dibayangkan bagaimana rewelnya Cakra semalaman itu.

Mungkin terhitung baru dua jam Ayah Bima dan Bunda bisa tertidur nyenyak. Juga semua Putranya yang bisa kembali ke kamarnya masing-masing, meski hatinya masih sangat was-was takut Cakra bangun tiba-tiba dan menangis lagi.

"Nafasnya sesak lagi?" Tanya Ayah lembut namun terdengar begitu khawatir.

Cakra menggeleng, namun tubuhnya masih terasa lemas apalagi ingatan kemarin saat dia melihat langsung kilatan petir juga suaranya. Merindingnya masih terasa sampai sekarang, yang sontak membuat Cakra memeluk kembali tubuh nyaman sang Ayah.

"Kenapa, hm?"

Mendapat usapan lembut di kepalanya, Cakra semakin merasakan nyaman yang sangat luar biasa. Matanya juga masih terasa berat, namun entah mengapa tadi dia tiba-tiba terbangun dengan cukup kaget.

"Tidur lagi, ya. Masih ngantuk, 'kan?"

Selimut tebal bergambar beruang yang masih menempel di tubuh Cakra, Ayah tarik lagi ke atas. Ayah melirik sekilas ke wajah Cakra yang nampaknya sangat nyaman berada di dekapannya. Matanya pun terlihat sayu namun saat akan terpejam, lagi-lagi mata itu terbuka lagi.

"Ngga usah takut. Ada Ayah." Tanpa Cakra kasih tahu, Ayah paham dengan ketakutan Putranya saat ini.

Dengan begitu, Ayah semakin mengeratkan pelukannya, meletakkan telinga sang Putra tepat di dadanya agar dapat mendengar jelas suara degup jantungnya. Kening yang masih ada plaster penurun panas, Ayah kecup berkali-kali sembari mengusap-usap punggung hangat Bungsu kecilnya itu.

"Makasih, Ayah." Ucapnya entah sadar atau tidak. Karena setelahnya, Cakra benar-benar sudah terlelap.

Namun terlepas dari itu, Cakra selalu merasa beruntung dengan apa yang dia miliki saat ini. Memiliki Ayah hebat seperti Ayah Bima, Cakra merasa dunianya selalu baik-baik saja. Ayah selalu ada untuk Cakra, Ayah selalu bisa melindungi Cakra, dan Ayah juga sudah memberikan Cakra banyak kasih sayang yang bahkan sangat melimpah.

"Makasih juga Putra Ayah. Makasih sudah tumbuh dengan kuat."

Perlahan, Ayah juga ikut memejamkan matanya. Tubuhnya tak berani gerak sedikitpun, takut Putranya itu akan terganggu. Namun di balik itu, ada air mata yang menetes dari mata Ayah. Ayah bukannya cape, Ayah bahkan tidak peduli dengan tubuhnya yang sudah mati rasa. Yang Ayah takutkan adalah kondisi Putranya, Ayah tidak bisa merasa tenang sebelum Putra Bungsunya itu beneran sudah sembuh dari sakitnya. Bahkan jika bisa, tolong jangan datang lagi.

Di pojok kanan, Bunda juga menangis dalam diam. Ingat sekali dulu Bunda harus melahirkan Cakra dalam kondisi tidak baik, bahkan Cakra lahir sebelum waktunya. Bunda juga ingat, bagaimana terpuruknya sang suami dulu, bahkan sampai menangis di pelukannya saat tubuh yang sangat mungil itu harus dipasangi banyak alat.

All About Today | Nct 127Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang