Baru kali ini Bima merasa begitu murka dengan sang Ibu, mungkin baru kali ini juga Bima berteriak keras kepada wanita hebatnya itu. Malam ini hujan semakin deras, bersamaan dengan tangisan Bunda yang tak kunjung mereda.
Suara gemuruh terdengar begitu ribut, layaknya Satria yang tak henti-hentinya menyalahkan sang Ayah dan Arga yang sekuat tenaga manahan Jojo agar tidak menonjok wajah tampan Ayahnya tersebut.
Bukan tanpa alasan, karena datangnya sang Nenek di rumah sudah menyebabkan matahari mereka, beruang kecil mereka terluka. Bukan dengan batinnya lagi, namun kali ini Cakra harus menempati ruangan yang sangat Anak itu benci.
Sekitar pukul delapan tadi, tepat dua hari sang Nenek menginap di rumah dan di waktu itu pula Cakra akhirnya berhasil membuktikan kalau ternyata wanita kebanggaan Bima itu tidaklah sebaik kelihatannya.
Dari lantai dua, di depan semua orang rumah, Ibu kebanggaannya Bima itu mendorong buah hati kesayangan Putranya sampai harus mengeluarkan banyak darah. Tak hanya itu, suara lantang sang Nenek yang berkali-kali mengatai Cakra pun terdengar jelas di telinga mereka.
Mungkin jika Jojo tidak menuruti permintaan sang Adik, Jojo tidak akan melihat Adiknya itu berguling sampai ke bawah. Namun jika Jojo tidak menurutinya, mungkin sang Ayah masih akan tetap kekeh dengan pendiriannya yang salah itu.
"Buat apa menyesal, Yah? ADEK AKU SAMPAI MOHON-MOHON SAMA AYAH BUAT PERCAYA KALO IBU AYAH ITU WANITA JAHAT! Tapi apa Ayah percaya? PRIA TUA INI MALAH NGEBENTAK PUTRANYA. Tolol, bodoh, baru kali ini aku ngga bisa maafin Ayah."
Cakra memang sudah menceritakan rasa ketakutannya terhadap sang Nenek kepada mereka, terutama sang Ayah yang sayangnya lebih memilih Ibunya itu. Berkali-kali Ayah membentak Cakra karena membuat Ibunya itu tiba-tiba menangis. Berkali-kali pula Ayah percaya dengan kebohongan yang dibuat oleh Ibunya itu selama dua hari ini. Dan ada Cakra yang berkali-kali menggeleng dan berkata tidak dengan tuduhan-tuduhan itu.
"Kenapa ke sini? Harusnya sekarang Ayah sama wanita sialan itu pesta. Demi Tuhan, kalau sampe Adek aku kenapa-kenapa. Aku ngga bakal biarin wanita itu hidup tenang. Nyawa dibalas dengan nyawa, jadi lebih baik Ayah lindungi wanita itu."
"Pergi yang jauh, Yah. Aku ngga mau mukul Ayah. Tolong pergi dari sini. PERGI!"
Tidak mau membuat Satria lebih marah lagi, Bima akhirnya menurut dan segera pergi dari tempat itu. Menyesal memang tidak ada gunanya sekarang, Bima hanya ingin Putra Bungsunya baik-baik saja. Bima pun sudah siap jika bangun nanti, Putranya itu akan membencinya.
Meski dibayangkan saja rasanya sangat sakit, Bima lebih memilih itu asalkan Putranya itu bisa cepat pulih dan tidak merasakan sakit lagi. Demi apapun, rasanya Bima tidak bisa menapak lantai lagi saat melihat bagaimana Putra kesayangannya itu terjatuh. Jantunya seolah berhenti berdetak, bagaimana mata bulat itu mulai tertutup sambil menangis menahan sakit.
Cakra, Ayahmu itu sekarang merasa sangat gagal menjalani perannya.
Tangisan Bima pecah ruah saat berdiam di dalam toilet, tubuhnya runtuh seperti dulu waktu Bima tahu kalau bayi mungil pemilik nama Cakra itu tidak sekuat Putranya yang lain. Belasan tahun Bima selalu menjaga buah hatinya itu agar tidak terluka, bahkan luka sekecil apapun Bima akan selalu mencari obatnya.
"Maafin Ayah, Nak. Maaf. Jangan menyerah, yang kuat ya, Nak. Ayah mohon, bertahan."
Arka tidak setega yang lain, membiarkan pahlawannya menangis sendirian, membentaknya bahkan sampai memukulnya. Jadi saat dengan tertatihnya sang Ayah menjauh, Arka langsung mengikutinya.
Selama ini Arka tidak pernah mendengar suara tangis sang Ayah, dan untuk pertama kalinya Arka mendengarnya langsung saat ini. Namun yang membuatnya sedih, sang Ayah menangis sendirian tanpa ada seseorang yang menguatkannya. Mau sampai kapanpun, sang Ayah adalah mentari bagi Arka karena dia paling dekat dengan Ayahnya itu dibandingkan dengan sang Bunda.

KAMU SEDANG MEMBACA
All About Today | Nct 127
FanfictionDaily life Cakra, sebagai bungsu di keluarga Birawa. Copyright by, Nyyzfn, 2022.