Sudah lima hari ini, Bima diam-diam menghampiri si Bungsu saat tengah malam alih-alih memberanikan dirinya untuk menghadap langsung pada mereka yang entah saat ini masih marah kepadanya atau ternyata sudah hilang emosinya. Kali ini Bima sedikit terlambat, karena dirinya sempat ketiduran beberapa saat yang lalu.
Kini dengan langkahnya yang sangat pelan, Bima mulai masuk ke dalam ruang inap milik sang Putra. Ruangannya masih terang, kontras dengan suasananya yang teramat sepi dan hening di telinga. Seperti biasa, satu hal yang selalu Bima temui saat masuk ke dalam sana adalah posisi tidur semua Putranya yang saling berpelukan.
Posisinya tidak berubah semenjak kemarin-kemarin, namun kini Bima merasa lega sebab sang Istri terlihat nyaman tertidur di kasur kecil yang letaknya tidak terlalu jauh dengan ranjang milik Cakra. Bima duduk di kursi biasa yang sama dengan kemarin, tangannya langsung menggapai jemari sang Putra kemudian beliau genggam secara perlahan.
"Ayah dateng lagi. Sakitnya belum hilang, ya? Ayah dengar kepala Adek masih sering pusing."
Punggung tangan yang terasa begitu dingin itu, Bima kecup berkali-kali kemudian diusap-usap lembut agar dinginnya bisa digantikan dengan rasa hangat. Kata Arka, sejak kejadian beberapa hari lalu Bungsu kesayangannya itu tidak mau berbicara dengan siapapun. Makan pun katanya hanya bisa masuk satu atau dua suap saja.
"Ayah cium kepalanya, biar pusingnya hilang ya."
Gerakannya sangat hati-hati saat kecupan menisnya itu Bima sematkan di kening sang Putra. Lalu Bima tambah pula di kedua pipi yang kini sudah mulai kehilangan lemaknya.
"Kira-kira kapan ya, Adek bisa manggil Ayah lagi. Kapan juga Ayag bisa ngelihat senyum manis Adek lagi. Maafin Ayah, Adek pasti marah banget sama Ayah."
"Tau ngga, Dek. Ayah udah lima hari ini ngga masuk ke kantor. Ayah selalu nunggu kamu di mobil, rumah juga sepi banget jadi Ayah ngga mungkin pulang. Tapi Adek jangan khawatir, Ayah'kan bosnya jadi ngga bakal ada yang berani marahin Ayah."
Sejenak, Bima tertawa kecil.
"Ayah juga ngga makan nasi, karena Bunda cantiknya Adek ngga nyiapin buat Ayah. Bunda pasti marah banget sama Ayah, Ayah harus apa ya, Dek?"
"Hidup Ayah belakangan ini kacau banget, Ayah bener-bener ngerasa kosong sekarang. Ayah mau rumah yang dulu, Ayah mau kita baikan dan saling sayang lagi. Tapi semua ini salah Ayah, jadi Tuhan pasti lagi ngehukum Ayah."
"Nenek udah Ayah laporin. Mungkin itu salah satu cara menembus kesalahan Ayah."
"Ayah itu dari kecil ngga punya sosok Ayah seperti Adek. Ibunya Ayah puluhan tahun berjuang buat ngehidupin Ayah sendirian, bahkan rela jual semua asetnya buat nguliahin Ayah. Ayah sayang banget sama Nenek kamu itu, tapi Ayah juga ngga terima kalo Putra kesayangan Ayah ini terluka gara-gara Ibunya Ayah."
"Ayah harus apa, Dek? Ayah cuma punya Ibu, tapi dia udah jahat ke Adek. Ayah ngga mau kehilangan sosok Ibu di kehidupan Ayah, Ayah masih butuh sosok itu sampai kapan pun."
Mau ditahan sekuat apapun, mendengar isak kecil dari sang Ayah membuat air mata Cakra ikut keluar meski matanya masih terpejam. Sama halnya dengan sang Ayah, maka Cakra pula di setiap malamnya akan selalu menahan kantuk untuk menunggu kedatangan Ayah hebatnya itu.
Cakra selalu mendengarkan semua cerita-cerita dari sang Ayah, Anak itu selalu berpura-pura tidur padahal kenyataannya begadang sampai pagi hingga Ayahnya itu keluar. Namun kali ini Cakra tidak bisa berpura-pura lagi, matanya perlahan terbuka untuk melihat jelas wajah sang Ayah.
Dan benar saja, saat dia membuka matanya, wajah kacau sang Ayah kini terpampang jelas di depan muka. Kantung matanya pun terlihat menghitam. Namun mau bagaimanapun, wajah itu masih terlihat gagah meski matanya terlihat penuh dengan kesedihan.

KAMU SEDANG MEMBACA
All About Today | Nct 127
Hayran KurguDaily life Cakra, sebagai bungsu di keluarga Birawa. Copyright by, Nyyzfn, 2022.