(Ravi) Sesal

6 1 0
                                    

       Seminggu telah berlalu dengan sangat lambat. Ravi pulih dengan baik baru setelah ia membuka perban dikepalanya. Hanya tinggal beberapa lebam saja diwajahnya yang belum sepenuhnya hilang. Ia memutuskan untuk datang ke taman itu lagi. Berniat untuk memaki Cahaya. Bukankah luka ini didapat gara gara kecerobohannya. Tak apa jika sudah terjadi, tapi paling tidak dia harusnya berterima kasih pada Ravi untuk pertolongannya. Namun jangankan berterimakasih, menjenguk saja tidak.

       Ravi melihat punggung seseorang yang duduk seperti biasa dikursi yang menghadap kedanau. Bagaimana bisa ia masih bersikeras tetap menjadi pribadi yang aneh bahkan setelah kecelakaan yang bisa saja merenggut nyawanya.

       Semakin dekat langkah Ravi menuju gadis itu. Hatinya seakan terbakar. Namun ketika gadis itu menoleh kearahnya, api yang berkobar dihati Ravi seakan lenyap begitu saja. Amarah menjadi iba. Ia menyaksikan wajah Cahaya yang hampir sama kacaunya dengan dirinya. Bahkan beberapa perban dan plester masih menghiasi keningnya. Begitu pula tangan gadis itu yang terbalut rapi perban putih. Bibir Cahaya terluka dibagian bawah, benar benar kacau untuk dilihat.

       Ekspresi Cahaya tidak seperti biasanya. Ia seperti sedikit melunak. Walaupun masih datar tanpa senyum. Ravi duduk disebelahnya. Terpaut jarak yang tidak jauh dari Cahaya. Ravi masih memandangi gadis itu yang masih terus menghadap kedepan. Tanpa pembicaraan apapun.

"Lo gapapa !?"

       Cahaya mengangguk sambil mengelus tangannya yang diperban. Ravi menghela nafas panjang.

"Sory ! kalau bukan gara gara gue, lo pasti gabakal luka kek gini" Ravi menunduk

       Gadis itu memandangi Ravi. Ia seperti ingin berpendapat juga, namun ia urungkan. Entah mengapa seperti ia benar benar tak ingin mengucapkan kalimat yang nantinya bisa membuat hatinya benar benar terbuka. Dan Cahaya memilih untuk tetap diam, bahkan setelah mereka berdua mengalami kecelakaan ini.

       Melihat keheningan yang tak kunjung hilang, Ravi mulai berterus terang.

"Dulu.. Gue gapernah punya temen. Bahkan keinginan buat punya aja gada. Gue terlalu takut buat berteman. Gatau kenapa. Tiba tiba lo dateng, dengan cerianya yang walaupun lo tau gue gasuka"

       Cahaya hanya menunduk namun ia tetap mendengarkan. Entah apa isi fikirannya, Ravi hanya bisa menebak nebak.

"Sejak saat itu gue memulai diri gue buat terbuka sama seseorang. Dan berharap suatu saat nanti gue bisa dapet banyak teman. Setahun berlalu, gue udah bisa welcome kesiapa aja buat jadi temen gue. Tapi disaat gue udah dapet yang gue pinginin, papa ngajak pindah, dan berpisah ama lo. Temen pertama yang ngajarin gue gimana asiknya bener bener punya temen"

       Ravi mengeluarkan sesuatu dari dalam tas slempang yang ia bawa. Itu diary Cahaya yang masih ia simpan.

"Daripada lo pendem sendiri, mending lo tumpahin semua ke diary ini. Lucu aja, orang yang dulu ngajarin gue buat bahagia malah sekarang berbanding terbalik. Sama  kaya gue dulu awal ketemu ama lo"

       Cahaya memandangi diary itu.

"Lo tadi mau gue omelin. Liat luka lo lebih parah dari gue dan gue inget masa kecil kita tiba bikin gue urung ngomelin lo"

       Ravi berdiri dan bersiap untuk pergi.

"Dan satu lagi. Gue pengen banget banget lo bisa terbuka kek dulu lagi, walaupun gue gak yakin bisa apa nggak"

       Ketika Ravi baru saja beberapa langkah menjauh dari Cahaya, gadis itu berbicara padanya dengan tiba tiba.

"Lupain aja masa kecil kita !"

Langit Untuk CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang