(Ravi)Tiba-tiba Pergi

7 1 0
                                    

       Matanya sangat lelah untuk membuka dan melihat mengapa sedari tadi ia bergerak gerak tidak karuan. Secercah sinar matahari sore sepertinya, yang membuat wajahnya sedikit kesilauan. Keringat membasahi bajunya, namun tak dirasa panas karena sebenarnya tempat yang ia tiduri sekarang terasa dingin. Rupanya didalam mobil ia sekarang. Ia setengah sadar ketika melirik sekitar dengan sisa tenaga yang dimilikinya saat ini. Dan setelah ia berkedip dengan keras untuk beberapa kali, hanya wajah yang melihatnya dengan tatapan sayu yang ia jumpai sebelum pandangannya kabur kembali menjadi gelap dan tidur dengan pulas.

       Jam digital yang berbunyi mengagetkannya disebelahnya. Mata Ravi masih sakit untuk dibuka lebar. Ia terpaksa memejamkan sebelah matanya yang sakit. Matanya hanya tertuju kelangit langit kamarnya, ia masih linglung. Lalu mencoba melihat kearah meja, tepat dimana jam digitalnya menunjukkan pukul 8 malam. Diatas meja itu sudah ada segelas teh ukuran sedang yang uapnya masih terlihat mengepul keluar diatasnya. Lengkap dengan piring kecil yang memopang. Dan juga ada beberapa obat yang lengkap dengan perban.

Gue udah dikamar.. ?

       Ravi mencoba bangun sambil memegangi perutnya karena rasanya seperti ditusuk dari dalam. Lalu ia membuka bajunya untuk memeriksa. Benar saja, sebuah lebam cukup besar terpampang jelas didekat perut dan dadanya.

       Ia menghela nafas panjang, baru saja beberapa bulan ia keluar dari rumah sakit, dan ia harus kesana lagi segera. Setelah mengumpulkan tenaga untuk benar benar sadar, Ravi berjalan menuju cermin dilemarinya. Ia ingin tau bagaimana parahnya lelaki tak bermoral itu menghajar. Dia tertawa melihat wajah yang ia banggakan terlihat sangat mengenaskan dengan mata yang membengkak sebelah. Bibirnya yang robek dibagian kiri bawah.

Oh.. Gini rasanya dihajar, seru juga !

       Ravi mencoba menghibur dirinya sendiri. Setelah ia berganti pakaian, ia segera melangkah keluar kamar dengan sempoyongan. Disana ia mencari cari seseorang. Dan benar saja, Ravi disadarkan tepat pada waktunya. Ada seorang wanita paruh baya yang memegang gagang telpon rumah. Ravi tau akan menghubungi siapa ia. Sebelum tersambung, Ravi terlebih dahulu memutuskan kontak dengan menekan tombol off di telepon itu.

"Nak Ravi !" ucapnya spontan dengan senang

"Jangan dikasih tau papa Bude, ntar malah ribet" ujar Ravi sembari memegang perutnya.

"Oh.., tapi nak Ravi beneran gapapa ini Pak Santoso gak dikasi tau ?" kata Bude Sarmi dengan bahasa medoknya

"Nggak papa bude, jangan buat papa cemas"

"Kok bisa kayak gitu to nak.. Memangnya sampean habis ngapain ? Kelahi sama siapa ?"

"Hehe.. Ini kerjaan orang sarap Bude, Ravi mah gapernah buat onar kan !?"

"Iyo i.. Sampean kan anak baik, nurut, sopan. Tapi kok bisa gitu loh ! Terus itu gimana lukanya ? Tadi mau bude telpon dokter atau mau dibawa ke RS"

"Gausah ah Bude, cuma segini doang. Besok juga sembuh"

"Loalah nak Ravi.. Yo nggak bisa begitu, wong mukanya sampe bengkah biru gitu kok" Bude Sarmi mencoba menyentuh mata Ravi yang bengkak dengan halus. Matanya hampir berkaca kaca melihat anak majikan yang sudah diasuhnya sedari kecil babak belur seperti itu.

"Tapi masih keliatan gantengnya kan !?"

"Hiihh.. Tak cubit nanti. Yaiya masih ganteng !"

"Udah Bude, jangan nangis.. Mending tolong buatin makanan buat Ravi"

"Oiyo.. Bude buatin bubur yo nak, itu tadi dimeja juga ada teh diminum dulu nanti keburu dingin"

"Iya Bude makasih"

Langit Untuk CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang