00:07

146 6 0
                                    

"Jadi, kamu hamil?"

"Astaga, kenapa pertanyaan Papa gitu, sih?!"

"Terus, kenapa pengen nikah cepet?"

Gadis itu menghela nafasnya berat. Ia menyiram tanaman itu tanpa ada yang terlewat. Ingatannya kembali teringat pada kejadian tadi pagi. Dia juga masih tidak menyangka dengan semua ini. Memang benar, semuanya terkesan mendadak tapi kenapa ia harus menolaknya?

"Kalo ada yang mau sama aku, punya niat baik dan berniat membahagiakan aku juga, kenapa enggak, Pah?"

Papa Zura tersenyum simpul, "menikah tidak semudah itu, Nak. Apa kamu sudah siap dengan segalanya? Hamil, melahirkan, mengurus anak suami dan rumah? Apa kamu sudah sanggup?" Tanyanya, lembut.

Zura memeluk Papanya dari samping, "setidaknya, aku udah latihan. Mengurus suaminya Mama, yaitu Papa." ucapnya, tersenyum dengan lebarnya.

...

Ruang tamu keluarga itu terasa lebih hening dari biasanya. Atmosfer di sana berubah seketika saat Papa Zura duduk bergabung dengan mereka berdua. Sebelum berbicara, lelaki jangkung itu menyalaminya terlebih dahulu. Sedangkan Zura mempersiapkan teh hangat untuk menemani sore hari mereka.

Diam-diam, gadis itu menatap cemas Armand. Tidak ada raut gugup di sana, ia dapat bersikap seperti biasa dengan senyum ramah yang tidak luntur menghiasi bibir tipisnya.

"Jadi, anda yang ingin menikahi putri saya?"

Armand mengangguk mantap, "benar."

Papa Zura mengambil cangkir tehnya, menyesapnya singkat dan kembali menyimpannya ke tempat semula. Ia memperhatikan lelaki itu dari ujung kaki sampai rambutnya, terlihat rapi dan berpendidikan pikirnya.

"Dia masih kuliah, semester enam."

"Kebetulan, saya dosennya."

Tidak ada keterkejutan di wajah Papa Zura, ia sudah mengetahui informasi tersebut dari anaknya tadi. Dia hanya ingin memastikan kalau lelaki itu benar-benar serius dengan putri tunggalnya itu.

"Bagaimana saya bisa percaya dengan anda?"

Sebelum menjawab, Armand menoleh untuk menatap gadisnya yang masih dipenuhi kecemasan berlebihan itu. Ia tersenyum singkat, berusaha menenangkannya. "Meskipun terkesan mendadak, saya yakin bahwa putri bapak ini akan menjadi pelabuhan terakhir saya. Saya akan mengusahakan kebahagiaan baginya, juga keamanan seperti saat bersama Bapak. Saya akan berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya, menuntunnya untuk dapat menjadi manusia yang selalu ada di jalan yang baik." Hening sesaat, "sebetulnya, saya tidak begitu pandai dalam berkata-kata. Oleh karena itu, saya ingin membuktikannya dengan tindakan." Lanjutnya, serius.

Papa Zura tidak langsung menjawabnya, ia menggenggam tangan putrinya erat. "Saya tidak berharap Zura menikah secepat ini. Saya masih menganggapnya anak kecil yang sering menangis karena ingin es krim atau balonnya pecah, bukan karena hatinya yang patah." Ia menghentikan ucapannya saat dadanya terasa nyeri, "saya ingatkan dari sekarang, jangan sampai membuat anak yang saya jadikan ratu di keluarga ini menjadi menderita. Jika hal tersebut terjadi, saya akan mengambil Zura kembali ke pangkuan saya. Sampai di sini, paham?"

MARRY ME, MAS DOSEN! [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang