00:14

134 6 0
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya Zura Kusuma binti Abidin, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" Ucap Armand, dalam satu tarikan nafas.

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Sah!"

Semua orang yang berada di ruangan tersebut turut berbahagia, begitu juga para perawat dan dokter yang mendampingi Ibu Armand. Saat berdoa, Zura berada dalam keadaan sadar tidak sadar. Ia tidak menyangka akan secepat ini dia melepas masa lajang. Tadi, lamaran dan di malam harinya dinikahkan.

Setelah mencium kening istrinya, Armand dan Zura melakukan prosesi sungkeman. Meminta restu untuk memulai kehidupan baru sebagai sebuah pasangan yang halal. Papa Zura tidak mampu menahan air matanya, sejak menjabat tangan Armand saat ijab kabul, ia menangis. Belum siap benar melepaskan anak terkasihnya. Begitu juga saat keduanya bersimpuh di hadapannya, dia mendekap keduanya lembut.

"Selamat, semoga hidup kalian selalu berbahagia."

Selanjutnya, mereka beralih ke Ibu Armand yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Selang oksigen dan infusan menempel di tubuhnya, "Ibu minta maaf, ya? Ibu sangat ingin melihat kalian bersama dengan mata kepala sendiri. Ibu egois, tapi ini juga untuk kalian. Tolong, jangan membenci Ibu, Nak." Ucapnya, nadanya terdengar begitu merasa bersalah.

"Mas bersyukur, Ibu masih bisa membersamai kami. Lekas sembuh, kita harus merayakan pernikahan ini dengan baik. Jangan menyalahkan diri sendiri, kami tidak keberatan dengan permintaan Ibu. Paling penting, Ibu harus kuat ya. Semuanya pasti segera berlalu."

...

Zura turun dari mobil, menunggu Armand mengeluarkan koper dari sana. Ia menatap rumah bertingkat itu penuh harap, rasanya berbeda tidak seperti saat pertama kali ke tempat ini. Otaknya mulai merangkai skenario bahagia, namun lamunan panjangnya dibuyarkan oleh sentuhan hangat di sebelah bahunya.

"Kenapa? Ayo, masuk. Sekarang, ini rumah kamu juga."

Zura mengangguk, mengikuti suaminya masuk melewati pintu besar itu. Setelah menyimpan kopernya di kamar, mereka memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu. Pada akhirnya, mereka dapat beristirahat setelah acara tadi. Wanita itu menghidangkan masakan sederhananya, semangkuk sayur sop, ayam goreng dan tempe tahu di atas meja makan.

Tanpa diminta dua kali, Armand mulai menikmatinya.

"Oiya, besok ada kuliah?'

"Ada, tapi siang. Kalo Mas ke kampus juga?"

"Iya, dari pagi. Nanti mau Mas jemput atau gimana?"

"Gapapa, aku bareng Rena aja."

"Yakin?"

Zura hanya mengangguk, ia mulai makan juga. Mulai hari ini, wanita itu resmi menjadi bagian dari keluarga Harmono. Zura berdoa, semoga kebaikan terus melimpahi mereka berdua dan berharap kalau dia tidak salah untuk memutuskan menikah di usia muda.

"Masakan kamu enak, sayang." Ucap Armand, "oiya, Bibi lagi pulang kampung. Jadi, di sini kita berdua. Gapapa, kan?"

"Gapapa, aman."

Armand tiba-tiba menghentikan kegiatan makannya, ia menatap istrinya lembut. "setelah Ibu Mas pulang, mau tetap di sini atau pindah? Kita cari apartemen atau rumah kecil dulu. Biar kamu juga bisa lebih leluasa lagi." Ucapnya, lembut. Namun, sebelum Zura menjawab, perhatiannya direbut duluan oleh sebuah notifikasi di ponselnya. Lelaki itu bergegas melihatnya, sampai ia memutuskan untuk menelpon yang bersangkutan.

"Hallo, Dimas? Saya sudah kaji skripsi kamu, namun masih ada hal yang harus direvisi. Saya sudah kirim lewat email." Hening sesaat, "apa? Tidak ada? Sebentar, saya cek lagi. Khawatir ada kesalahan dari saya." Armand bangkit dari duduknya, mendaratkan kecupan singkat di puncak kepala istrinya dan bergegas ke kamar.

Zura menghela nafas panjang, "siapa sih yang hubungi dosen tengah malam gini? Gak tau waktu banget! Dosen kan juga manusia, butuh istirahat. Dikira mereka gak punya kehidupan juga apa?"

Setelah membereskan segalanya, Zura masuk ke ruangan tempat Armand berada. Kehadirannya disambut bahagia oleh lelaki itu, "kamu udah ngantuk? Tidur duluan aja, ya. Masih ada yang harus Mas beresin. Gapapa?" Tanyanya, lembut.

Zura hanya tersenyum, berjalan lebih jauh lagi ke dalam. Sampai ia merebahkan diri di atas kasur empuk itu. Aroma khas Armand tercium saat ia memakai selimutnya, begitu harum dan menyegarkan. Benar, ia sudah kelewat lelah sekarang. Wanita dengan kaos putih itu pada akhirnya menutup mata, berusaha untuk terlelap agar besok dapat menjalankan hari dengan semangat.

Sampai, di tengah ketenangannya. Ia merasakan getaran aneh di kasurnya, membuka mata perlahan saat sebuah tangan melingkar hangat di pinggangnya. "Udah tidur?"

"Udah, kenapa?"

"Besok, kita jenguk Ibu, ya."

"Iya. Mas udah beres kerjanya?"

"Udah, sayang. Oiya, nanti setelah Ibu siuman, kita pindah. Mas udah beli rumah untuk kita, besok kamu bisa lihat, ya. Sekarang, tidur lagi. Selamat malam, istriku."

MARRY ME, MAS DOSEN! [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang