00:21

55 1 0
                                    

Hari Armand berangkat ke Malang tiba. Pagi sekali, lelaki berkemeja hitam itu sudah siap di ruang tamu dengan sebuah koper dan tas laptopnya. Setelah membereskan bekas sarapan mereka, Zura mendatangi suaminya sambil menyodorkan sebuah botol air mineral. "Ini tolong dibawa, di mobil pasti haus."

Meskipun tahu akan mendapatkan air dari pihak kampus, tidak membuat Armand menolak pemberian isterinya. Ia menerimanya dengan perasaan gembira, membawa tubuh kecil itu dalam dekapannya. Lelaki itu akan sangat merindukannya, meskipun dapat berkomunikasi lewat ponsel. Rasanya pasti akan sangat berbeda.

"Berangkat, gih. Takutnya-"

"Masih satu jam lagi. Mas pengen gini dulu, boleh?"

Zura melepaskan diri dari dekapannya, menatap suaminya galak. "Enggak, Mas harus berangkat sekarang. Aku takut Mas ketinggalan atau gimana kalo berangkatnya mepet. Aku gak-"

Ucapannya terpotong karena bibir Armand mendarat singkat di sebelah pipinya. Hal itu membuat wajahnya panas, jantungnya berdebar tidak karuan. Ia menjadi salah tingkah, ingin pergi namun Armand kembali membawanya dalam dekapan hangatnya.

"Mas sayang kamu, selamanya akan seperti itu."

Sampai, waktu benar-benar harus memisahkan mereka. Zura memberikan kecupan singkat di bibir sedingin es itu, bergegas keluar dari mobil sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan dan mengacaukan aktivitas suaminya itu. Di depan gerbang itu, Zura melambaikan tangan dengan senyuman cerah sedangkan Armand menatapnya sendu dari balik setir. Benar-benar berat untuk pergi, apa dia batalkan saja dan kembali pulang ke rumahnya bersama isterinya itu?

"Mas berangkat, ya."

"Jangan lupa kabari kalo udah sampe. Hati-hati!"

Zura menyatukan ujung jari jempol dan telunjuknya, membentuk simbol cinta ala korea. Hal itu membuat Armand tersenyum, melambaikan tangan dan benar-benar pergi dari hadapannya. Mobil itu menghilang di ujung jalan sana, memaksa Zura untuk masuk ke halaman rumahnya. Baru beberapa melangkahkan kaki, matanya berbinar saat menemukan Ayahnya tengah sibuk menyiram tanaman menatap ke arahnya. Zura bergegas menghampirinya, memeluknya erat. Di saat inilah, ia berani meneteskan air matanya.

Melihat putrinya yang tiba-tiba menangis membuat Ayah Zura cemas, ia mempertanyakan keadaannya dengan lembut. "Kenapa, Nak? Ada yang menyakiti kamu?"

Zura menggeleng, "aku cuma kangen Ayah aja."

...

Secangkir teh hangat dihidangkan di hadapan Zura, pria setengah baya itu duduk di sebelahnya. Mengambil sepotong pisang goreng hangat, memakannya. Sebetulnya, beliau bingung harus memulainya dari mana.

"Nanti juga terbiasa, gapapa. Gak perlu sedih gini."

"Iya, tapi susah."

Ayah Zura tersenyum tipis, "jadi teringat almarhum Ibu kamu. Sifatnya mirip sekali. Sering nangis kalau Ayah pergi ke luar kota buat dinas. Diajak, eh gak mau. Sebelas duabelas sama kamu pokoknya."

Zura menghapus jejak air matanya, tertawa.

"Beneran? Ayah gak bohong, kan?"

"Perlu Ayah buktikan?"

"Gapapa, aku percaya. Tapi, seminggu itu lama."

"Kamu pasti kuat, Nak. Ayah percaya."

Zura hanya mengangguk, minum teh yang disajikan untuknya. Entah kenapa, setelah air hangat tersebut menyentuh bagian perutnya ia merasa cukup tenang. Ayahnya paham sekali bagaimana menjaganya.

"Oiya, Ibunya suami kamu gimana kabarnya? Ayah belum sempat jenguk, akhir-akhir ini punggung Ayah sakit lagi. Gak bisa pergi jauh-jauh, pengen istirahat terus bawaannya." Tanyanya, lembut.

"Ibu udah mendingan, kok. Gapapa, Ayah istirahat aja."

"Tapi tetep aja gak enak, orang itu mertua kamu."

"Lain kali aja jenguknya, kalo Ayah lagi sehat."

Ayah Zura hanya mengangguk, kembali mengambil sepotong pisang goreng dan memakannya dengan tenang. Di sisi lain, beliau merasa senang masih dapat menghabiskan waktu bersama putri tunggalnya yang kini telah berkeluarga itu. Kembali teringat akan kebiasaan mereka dulu, terlebih lagi saat Zura masih usia sekolah dasar. Gigi ompongnya membuatnya semakin merindukan masa lalu, saat istrinya masih ada bersama mereka. Terlihat layaknya keluarga bahagia, sampai maut memisahkan.

"Ayah bersyukur sekali punya kalian. Di sana, Mama kamu sedang apa, ya? Apa sudah punya suami baru? Anak baru juga?"

"Yah, yang bener aja dong."

"Ayah kan cuma bertanya, marah-marah terus deh."

MARRY ME, MAS DOSEN! [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang