00:18

85 2 0
                                    

"Papa, aku kangen banget tau!"

"Kamu pikir, Papa enggak?"

Armand tersenyum haru melihat interaksi mereka. Sepertinya, benar. Ia iri dengan hal tersebut. Sudah lama sekali dia tidak melihat Ayahnya sendiri, bahkan sekarang sudah mulai lupa dengan rupanya. Sampai, lamunan panjangnya itu lebur saat Papa Zura membawanya untuk ikut berpelukan dengan mereka. Lelaki itu menangis sejadi-jadinya, sesak sekaligus bahagia dalam waktu bersamaan.

Dia tidak begitu mengingat masa kecilnya, namun dekapan hangat Ayahnya masih terkenang sampai sekarang. Munafik kalau dia baik-baik saja setelah perceraian orang tuanya, terlebih lagi jika mengingat alasan perpisahan mereka. Ayahnya tidak ingin merawat Ibunya yang sakit-sakitan. Marah, kecewa, sedih, begitulah perasaan Armand padanya. Hal ini yang membuatnya belum siap untuk memiliki keturunan, cemas akan melakukan hal yang sama dan menyengsarakan istri dan buah cintanya di masa yang akan datang. Masa lalunya adalah racun, dia selalu sakit setelah mengingatnya.

Armand terbatuk saat air hangat dari handuk kecil itu menyentuh keningnya. Ia tersenyum, melihat wajah cemas istrinya. Tangannya terangkat, mengelus pipinya. "Ra, maafin Mas. Mas masih belum siap dengan segalanya. Kalo kamu berkenan, bisa bantu Mas untuk siap dan mengalahkan rasa takut ini? Mas capek harus tersiksa seperti ini. Mas pengen sembuh." Pintanya, lirih.

Ucapannya sukses membuat Zura tersentuh, ia mengelus punggung tangan yang panas itu. "Apapun alasannya, harus dimulai dari diri Mas sendiri. Mas yang punya kendali atas hal tersebut. Tapi, aku bakal bantu. Demi keluarga kecil kita."

...

Malam ini, pasangan itu menginap di rumah Papa Zura. Mengingat kondisi Armand yang tidak memungkinkan membawa mobil dan di rumah hanya ada mereka, Papa Zura pada akhirnya meminta untuk tinggal di sini saja untuk sementara waktu sampai lelaki itu sembuh sempurna.

Hawa panas di tubuhnya sudah menurun, tinggal pening di kepalanya yang masih belum membaik. Meskipun demikian, Armand memaksakan diri untuk duduk dan menemami mertuanya bermain catur.

"Kalau tidak kuat, ke kamar saja, Mand."

"Saya kuat, kok."

Papa Zura hanya mengangguk, ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya dan menyerahkannya kertas tersebut pada Armand. Lelaki itu menerimanya, lantas terdiam kala melihatnya.

"Ini Zura, Pah?"

Papa Zura hanya mengangguk.

"Manis sekali."

"Benar. Ini sebagai pengingat, bahwa kamu tidak hanya berbicara pada Zura dewasa, tapi saat itu juga kamu berbicara pada anak kecil di foto itu. Paham kan maksud saya? Saya tidak lelah untuk mengingatkan untuk memperlakukan anak saya dengan baik."

"Iya, Pah. Saya paham."

"Katanya, kamu mau lanjut S3?"

"Benar, rencananya seperti itu. Tuntutan dari kampus-"

"Ajak Zura ikut ke mana pun kamu pergi ya, Nak."

Armand membeku mendengarnya.

"Jangan buat dia merasa sendirian."

MARRY ME, MAS DOSEN! [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang