1

1.8K 100 2
                                    

SEORANG anak laki-laki dengan rambut kuning berantakan khas bangun tidur tengah berdiri di samping ranjang putih. Tangannya bergerak mengguncang tubuh wanita yang terlelap masih dengan menggunakan setelan koki. Sesekali ia memanggil wanita itu dengan intonasi rendah.

"Ibuuu."

Tak terhitung sudah berapa kali ia memanggil, tapi wanita itu masih terlihat nyaman di posisi tidurnya. Hingga alarm pada ponsel berbunyi tepat di samping bantal.

"Boruto ..." kata pertama yang keluar dari mulut Hinata setelah mematikan alarm dengan mata terbuka setengah. "Sudah cuci muka?"

Anak lelaki yang dipanggil Boruto itu menggeleng lemah sebagai jawaban. Hinata--sang Ibu bangkit dari tidur lalu mengikat rambut biru nan lurus miliknya kasual. Kemudian merenggangkan badan yang sakit semua akibat tidur menggunakan setelan lengkap koki.

"Basuhlah wajahmu dan sikat gigi. Ibu buatkan nasi goreng spesial hari ini."

Boruto mengiyakan perintah tersebut sebelum ia berjalan pelan keluar. Hinata setia memperhatikan punggung bungkuk milik anaknya sampai menghilang dari balik pintu.

Ia menguap tak tertahankan, masih enggan beranjak meninggalkan ranjang lantaran ngantuk berat, nyawanya pun belum lima puluh persen terkumpul. Mencoba melawan kantuk, ia beranjak dari kamar menuju dapur, membasuh wajahnya di wastafel dan langsung menyiapkan bahan untuk membuat nasi goreng.

Rutinitas pagi harinya selalu sama semenjak Boruto masuk sekolah dua setengah tahun yang lalu. Begitu bangun, ia langsung sigap memasakkan sarapan. Beres-beres lalu mengantar Boruto sekolah sekalian berangkat kerja.

Selang beberapa menit setelah nasi goreng disajikan, Boruto keluar dari balik pintu yang dengan penuh stiker galaksi. Bocah SD itu sudah mengenakan seragam lengkap dan melempar ranselnya ke sofa. Ia menarik stool dan memanjat untuk duduk menikmati nasi goreng di meja bar.

"Ibu akan datang ke olimpiadeku, kan?" tanya Boruto setelah menelan suapan pertamanya.

Hinata bergeming di depan kompor. Memandangi teko yang mulai bersiul menandakan air rebusannya sudah matang. Terkadang ada saat-saat di mana pikirannya melayang meninggalkan raga. Seperti yang saat ini sedang terjadi.

Tanpa kesadaran penuh ia bertanya-tanya, apa yang Naruto lakukan sementara dia di sini sibuk menjadi single mother darj anak yang dia buang semasa masih dalam kandungan. Baru minggu lalu ia dengar kabar mengenai pernikahan Naruto--si pemimpin desa dengan adik dari Ereki Kaminarimon, Naoka.

Apa Naruto sedikitpun pernah ingat Hinata masih hidup di luar sini. Atau bahkan apa dia tau Hinata menetap di Sunagakure setelah melahirkan.

"Bu?" panggil Boruto memecah lamunan Hinata.

Wajah pias Hinata kini berubah kaget begitu lihat asap berbondong-bondong keluar dari ujung teko. Lantas ia matikan kompor dengan satu gerakan lalu berbalik menatap anaknya dengan raut penuh tanya. Kepalanya ditelengkan seakan meminta Boruto untuk mengulangi pertanyaannya.

"Ibu datang ke olimpiade, tidak?"

"Tentu." Hinata duduk di seberang bar dengan senyum lembut terpatri di wajah anggunnya. "Setelah menjemput Bibimu di stasiun, kami akan langsung ke sana."

"Bibi? Untuk apa dia ikut?" Boruto mengernyit sembari mengunyah nasi goreng.

"Apalagi kalau bukan untuk melihat keponakannya menang." Hinata tersenyum simpul sementara tangannya bergerak mengelus pucuk kepala Boruto.

Meski tahun depan Hinata menginjak kepala tiga, wajah dan senyumnya tidak berubah semenjak remaja. Masih terlihat lembut dan menyejukkan ketika dipandang. Boruto pernah melihat foto Ibunya semasa remaja dan ia rasa tidak ada yang berubah kecuali sorot mata Ibu yang terlihat lebih dewasa sekarang.

"Sainganku bukan dari sekolah yang sama, Bu. Mereka datang dari sekolah yang berbeda-beda. Darimana kau tau aku akan menang?" Boruto hampir saja ingin memutar mata akibat ekspektasi Hinata yang terlalu tinggi. Bukannya malah termotivasi, Ibu hanya menambah beban dengan segala keoptimisannya.

"Menang atau kalah kau akan tetap menang di mata Ibu," kata Hinata sambil berdiri mengisi botol minum milik Boruto.

"Omong kosong macam apa itu." Boruto menyuap nasi gorengnya yang tersisa dua sendok sekaligus hingga mulutnya penuh.

Hinata hanya bisa tersenyum mengamati wajah anaknya yang begitu mirip dengan Naruto. Begitu sangat tidak adil dunia ini mengingat dialah yang membesarkan Boruto, dialah yang memberikan kehidupan nyaman dan aman, tapi anak itu malah tumbuh menurunkan gen Naruto.

Namun di saat dunia bilang kalau dia bukanlah anak Naruto, atau bahkan ketika ayahnya sendiri meminta untuk aborsi, Hinata tidak akan pernah berhenti percaya kalau Boruto akan jadi manusia yang hebat, hingga mengalahkan Naruto sang pahlawan dunia.

It's Too Late, is It?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang