6

518 48 1
                                    

Hinata sedang menuang micellar water ke permukaan kapas ketika ponselnya berdering. Ia mengernyit heran. Siapa yang menelpon malam-malam seperti ini.

Ia melirik ke layar ponsel dan menemukan nama Wali Kelas 5, rasa penasarannya semakin menjadi. Perihal sekolah Boruto dan apapun yang berhubungan Boruto selalu dapat atensi penuh darinya. Alhasil tanpa pikir panjang, ia mengeser ikon hijau dan menempelkan benda pipih tersebut ke telinganya.

"Selamat malam, Bu Kurenai. Ibunya Boruto berbicara di sini," ujar Hinata.

"Salamat Malam, Bu Hinata. Maafkan saya telah mengganggu waktu istirahat Anda."

"Oh, tidak, tidak. Jangan sungkan, Bu. Ada apa, ya?"

"Berbicara tentang absennya Boruto pada study tour kali ini. Maafkan saya yang tidak sopan membicarakan hal ini di telepon." Kurenai akan lebih merasa bersalah kalau single mother itu absen dari kerjanya hanya untuk pergi ke sekolah.

"Sangat disayangkan sekali jika Boruto tidak ikut outing class kali ini. Karena kegiatan di sana juga bagian dari pemasukan nilai Boruto di rapot. Saya harap Anda dapat mempertimbangkan hal ini kembali, Bu Hinata," jelas Kurenai.

Kurenai menggigit kuku jempolnya cemas ketika tak ada jawaban dari seberang sana.

"Maafkan saya Bu Kurenai, tidak ada lagi yang bisa saya pertimbangan," jawab Hinata akhirnya.

"Bolehkah saya tau apa alasannya? Maafkan saya, Bu Hinata, apakah Anda terhambat oleh ekonomi. Jika benar begitu, kita bisa bicarakan baik-baik dengan kepala sekolah. Mengingat Boruto adalah murid kebanggaan kami, pasti beliau tidak tinggal diam."

"Apakah setiap guru sekolah selalu melampaui batas seperti Anda?"

"Maaf?" Kurenai termenung sesaat sampai ia menepuk jidatnya merasa bodoh karena terbawa empati. "Maafkan saya, Bu Hinata. Saya tidak bermaksud demikian. Saya hanya ingin membantu. Maaf jika Anda tersinggung."

"Saya rasa ini sudah cukup malam, Bu Kurenai. Saya takut membangunkan Boruto."

"Ah baiklah, maafkan saya telah menyita waktu istirahat Anda. Selamat malam."

"Selamat malam."

Hinata meletakkan ponselnya pada meja tanpa mematikannya. Baginya mematikan sambungan telepon lebih dulu itu kasar, jadi ia membiarkan Kurenai melakukannya.

Dihadapkan permasalahan ini membuatnya tak leluasa bernapas, seperti ada yang mencekik dan menekan dadanya sangat kencang. Setiap tarikan dan hembusan napas terasa sangat menyakitkan.

Inilah kenapa dia memilih melarikan diri. Mengingat masa lalu tidak pernah menyenangkan baginya. Hinata hanya pendendam yang memilih diam. Ia tidak punya tempat bercerita dan bersandar, hanya Borutolah yang menguatkannya selama ini.

Ia berdiri diambang pintu kamar Boruto yang sudah gelap. Dilihatnya Boruto yang tertidur di atas ranjang mini bermotif astronomi. Ia tidur dengan sangat nyenyak sampai-sampai kakinya menggantung keluar dari ranjang.

Hinata terkekeh geli. "Sudah saatnya ganti kasur, ya," gumamnya.

Ironinya, setiap memandang Boruto ia merasa dunia tidak adil. Dialah yang mengandung Boruto selama sembilan bulan, dia juga yang membesarkan Boruto sendirian. Tak pernah ada sosok itu di dalam hidup Boruto. Tapi entah kenapa semakin lama Boruto semakin mirip dengan Naruto Uzumaki.

To be continued.
Tbh, i can't make this story meet the ending cuz i have no idea when i decided to wrote this. But i saw people are recognize and wait for this weird story. So i'd try to make this story happen you guys. Thank u for the attention. It means world to me<33

See u soon.

It's Too Late, is It?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang