10

492 61 12
                                    

Sebelas tahun yang lalu.
.
.

"Gugurkan saja."

Kening Hinata berkerut dalam, ia yakin tidak salah dengar. Kalimat itu baru saja keluar dari mulut Naruto. Untuk sesaat suara jarum jam mendominasi, setiap detiknya seolah memukul bagian dalam dada Hinata.

"Apa?" tanya Hinata geram. Kedua matanya yang selalu tampak tenang dan teduh kali ini berubah berang.

"Sebentar lagi kampanye. Kalau orang-orang tau, situasi akan menjadi sulit," kata Naruto yang duduk di seberangnya tanpa melihat sedikitpun.

Seolah-olah buku yang sedang ia baca lebih menarik daripada topik yang sedang mereka bicarakan. Bahkan saat mendengar kehamilan Hinata, Naruto tak kaget sedikitpun. Seakan ia tau berita itu akan datang dan ia sudah siap dengan jawabannya. Gugurkan.

Kedua tangan Hinata mengepal di atas paha. Air matanya luruh membasahi baju dan sebagian mengenai punggung tangannya. Kemana anak lelaki yang penuh idealisme dan selalu membela kebenaran itu? Kemana sosok penyelamat dunia yang ia kenal? Apa semua itu hanya kedok belaka?

Naruto telah berubah, Hinata tak mengenalnya lagi.

"Selama ini aku hanya tempat pembuangan kotoranmu, ya?" kata Hinata.

Hal itu sukses membuat kepala Naruto terangkat. "Jaga bicaramu."

"Kenapa selama ini kau tidak pernah terang-terangan mengakuiku di depan semua orang, Naruto? Kau sebenarnya serius atau hanya main-main?" Suara Hinata meninggi dan bergetar.

"Aku tidak ingin orang-orang berpikir aku menjadi kandidat hokage berkat koneksi keluargamu, Hinata. Tidak bisakah kau mengerti?"

Hinata semakin terisak. Kedua tangannya bergerak menangkup wajah yang sudah memerah. "Kau bohong, Naruto. Kau selalu bohong."

"Aku selalu serius, Hinata. Hanya saja, bisakah kau menunggu lebih lama lagi?"

"Selama ini aku menunggu. Kaulah yang tidak bisa menunggu. Kau selalu dipenuhi hasrat dan menyuruhku untuk terus datang. Kalau kau tidak sabar kenapa tidak panggil wanita bayaran saja, Naruto? Setidaknya mereka tidak akan memberimu masalah dengan datang membawa kabar kehamilan."

"Hinata!"

Tangan Naruto mengepal di atas meja. Urat-urat di rahangnya seketika muncul.

Tapi Hinata tidak lagi peduli, ia berdiri dari kursi. Melepas cincin dari jari manisnya lalu dilemparkan benda itu mengenai dada Naruto.

"Hiduplah sesukamu, Naruto. Jangan pernah muncul dihadapanku lagi."

To be continued.

It's Too Late, is It?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang