Pagi itu Boruto menorobos masuk ke kamar Hinata, sembari memeluk kardus yang hampir seukuran dengan badan mungilnya. Hinata tak dapat menahan dirinya untuk bertanya.
"Apa itu?"
"Paket dari Tuan Kazekage, katanya," jawab Boruto, menyodorkan kardus tersebut dengan susah payah.
Hinata mengambil alih kardus itu dari tangan anaknya. Berat, batinnya.
Simbol fragile alias barang mudah pecah menarik perhatiannya. Mereka berjalan ke ruang tengah dan membukanya segera. Boruto berteriak histeris ketika melihat isinya.
"Whoaa! Sebuah laptop?! Tuan Kazekage tidak salah kirim kan?" Boruto mengangkat laptop itu tinggi-tinggi dan memandangnya dengan mata berbinar.
Sedangkan Hinata terpaku pada secarik kertas yang jatuh.
Hadiah untuk Boruto atas kemenangannya yang luar biasa. Teruskan perjuanganmu Boruto, buatlah Ibumu bangga setiap hari.
-Gaara
***
Arako tempat Hinata bekerja tidak jauh dari apartemen tempatnya tinggal dan sekolah Boruto. Restoran mewah dua tingkat ini selalu jadi destinasi orang-orang kaya yang sedang berkunjung ke Suna. Letaknya strategis karena berdampingan dengan hotel dan dekat dengan bandara.
Hinata sendiri bekerja di sini semenjak Boruto berumur enam tahun. Sejak saat itu ia berusaha memantapkan hatinya untuk melepas Boruto di daycare. Ia ingin Boruto makan yang dia mau, beli barang yang ia suka, dan dapat pendidikan yang bagus.
Di ruang istirahat yang berukuran 10×5, Hinata mengganti pakaian kasualnya dengan seragam memasak. Selesai mengikat half apron ke pinggangnya, ia melangkah keluar menuju dapur. Peperanganpun dimulai. Ia berkutat dengan bahan mentah dan alat masak sepanjang hari. Semakin siang, makin banyak pesanan yang masuk.
Tepat pukul sembilan, pelanggan spesial masuk. Semua koki heboh, beberapa orang sempat mengintip ke luar, tapi sang kepala chef menegur mereka.
"Aku lihat tangan kalian berhenti!" ujarnya dengan suara tegas. Mereka buru-buru melanjutkan aktivitas sambil menunduk.
Hinata duga tamu itu sangat penting karena kepala chef sampai turun tangan untuk memasak dan mengantarkan makanan.
"Apa yang membuat Kazekage sarapan jauh-jauh ke sini?"
"Mungkin dia tengah mencari angin segar terlepas dari tugasnya sebagai Kazekage."
"Yah ... Kazekage juga manusia."
"Dia Kazekage yang luar biasa, berdedikasi tinggi, dan sangat memikirkan rakyatnya. Kudengar baru-baru ini ia menangkap wakil menteri keuangan yang korupsi dan langsung sibuk mereformasi pemerintahan. Sekarang aku tak perlu cemas kemana perginya uang pajakku."
"Jangan lupakan fakta bahwa dia masih muda dan lajang."
"Ah iya, pertunangannya dengan anak pemilik tambang itu batal, ya. Aku senang mendengarnya."
"Aku juga dari awal merasa mereka tidak cocok. Tuan Gaara itu pekerja keras, sedangkan Shion terlihat seperti putri kerajaan yang sedari kecil dimanja harta."
"Dia terlalu tertutup dan keras dengan dirinya sendiri. Aku harap Tuan Gaara bertemu dengan wanita independen yang bisa diajak berbagi rasa sakit."
"Kau benar, aku juga berdoa untuk itu."
Dari balik mejanya, Hinata memotong ayam sambil tersenyum kecil. Ia lega melihat betapa banyak yang peduli dengan Gaara di desa ini. Semasa sekolah dulu tak banyak yang menyukai Gaara karena ia terkesan pendiam dan orang-orang pikir ia sombong. Apalagi dia anaknya kazekage.
Akibatnya Gaara sering kesusahan berbaur. Lalu di saat-saat seperti itu, Naruto datang membantunya.
"Hinata! Kemarilah." Kepala chef tiba-tiba memanggil.
Hinata segera mengelap tangannya dan berjalan mendekati pria buncit itu. "Ada apa, pak?"
"Tolong antarkan ini ke meja nomor duapuluh tiga, ya. Pastikan kau bersikap baik di depan Tuan Kazekage."
Selama bekerja di tempat ini, Hinata tidak pernah mengantar makanan ke meja pelanggan. Tapi ia tak mempertanyakan titah kepala chef. Ia langsung mengantar dessert itu kepada lelaki dengan setelan jaz navy yang tengah menikmati hidangan utama.
Melihat Hinata dari jauh membuat Gaara reflek berhenti makan dan mengusap mulutnya dengan sapu tangan.
"Ini hidangan penutup Anda, Tuan. Selamat menikmati. Bila ada permintaan lagi Anda bisa bunyikan bel." Hinata membungkuk hormat.
"Sudah kukatakan beberapa kali, bukan?" kata Gaara yang langsung membuat Hinata mendongak cemas. "Jangan bersikap formal kalau berada di luar."
Hinata tersenyum simpul. "Saya tidak di luar, Tuan. Saya sedang bekerja."
Gaara terdiam, benar juga katanya. Bagaimana bisa ia lupa. "Daripada itu luangkanlah waktumu untuk duduk dan makan bersamaku, Hinata."
"Maafkan saya, Tuan. Seminggu ini saya tidak libur."
"Oh tidak, maksudku makan bersama sekarang. Kau dan aku duduk di sini. Makan dan berbincang."
"Kedengaran bagus tapi—" Hinata membungkuk cepat, "—maaf sebesar-besarnya, saya tak bisa meninggalkan tanggung jawab saya di dapur, Tuan."
"Ah ... baiklah." Gaara kehilangan semua kata-kata yang ia rancang sejak tadi malam. "Bagaimana dengan laptopnya? Apa Boruto suka?"
"Sangat terhormat bisa menerima hadiah dari Anda, Tuan. Boruto benar-benar menyukainya. Saya tidak bisa membalas kebaikan Anda selain dengan terima kasih."
Gaara tersenyum. Setelahnya Hinata berpamitan dan mengucap maaf dan terima kasih berkali-kali, Gaara membiarkannya pergi. Ditatapnya punggung kecil yang tampak tangguh itu berjalan cepat menjauhinya.
Sulit sekali, ya ....