Suasana makan malam di apartemen Hinata berlangsung seperti biasanya. Hinata menjaga komunikasinya bersama Boruto dengan menanyakan bagaimana kehidupan sekolahnya. Boruto selalu menjawab dengan perkataan yang sama.
"Yah, tidak ada yang spesial."
"Masa kecil hanya terjadi sekali, Boruto. Jangan menyesal ya kalau sudah besar."
"Satu-satunya yang aku sesali adalah kenapa aku harus masuk sekolah itu."
Hinata memasang wajah malas. Ini lagi, batinnya. Boruto menyesal telah bersekolah di sana, karena kegiatannya terlalu kekanak-kanakan. Seperti piknik di depan sekolah, melukis halaman sekolah, yel-yel yang menurutnya konyol, serta guru yang selalu memperlakukan mereka seperti anak kecil baru lahir.
Boruto benci semua hal di sana.
"Bisakah kau pindahkan aku ke sekolah yang lebih bagus, Ma. Aku sudah muak."
"Sekolahmu itu masuk ke kategori tiga besar di Suna, kau mau pindah kemana lagi?"
"Sekolah yang begitu masuk peringkat nasional? Orang-orang pada kenapa sih? Andai aku bersekolah di Konoha."
Hinata terdiam. Boruto tidak mengerti kenapa ibunya harus pindah dari negara Konoha yang damai dan maju, ke negara Suna yang gersang dan membosankan. Tidak ada yang bisa dilakukannya selama di Suna, dan Konoha punya banyak hal. Konoha lebih maju berkali-kali lipat dibanding Suna, apalagi ketika masa kepemimpinan Uzumaki Naruto.
Kazekage Gaara memang luar biasa, tapi Boruto lebih mengidolakan Naruto.
Setelah mencuci piringnya sendiri, Boruto pergi ke kamar untuk mengambil sesuatu. Tak lama kemudian ia kembali membawa secarik kertas.
"Ada kegiatan study tour minggu depan dan aku sangat ingin ikut, Ma. Maukah kau tanda tangani ini?"
Hinata mengelap tangannya yang basah sehabis mencuci piring, lalu duduk membaca isi formulir tersebut. Mata bergerak perlahan menyelisik satu persatu huruf yang tercetak di sana.
... diadakan study tour yang wajib diikuti oleh seluruh murid tahun ke lima. Acara tersebut akan dilaksanakan pada:
Tanggal: 12 Oktober
Tujuan: Konohagakure
(1) Perpustakaan Nasional Konoha
(2) Museum Sejarah
(3) Kantor Pusat KonohaWanita itu bergeming sesaat sebelum meletakkan kertas itu di meja dan menatap Boruto yang berbinar-binar. Ia menunggu Mamanya menandatangani formulir.
"Mama tidak setuju."
Senyum di wajah Boruto memudar. "Kenapa?" tanyanya.
"Mama hanya khawatir kau pergi sejauh itu."
"Jangan khawatir, Ma. Aku pandai menjaga diri. Lagipula ada para guru yang membimbing kami, sangat tidak mungkin mereka lepas mata dari kami. Ini kesempatan besar, kapan lagi aku bisa ke Konoha? Ayolah, Ma."
Hinata diam menatap anak semata wayangnya. Andai Boruto tau masalahnya bukan karena ia khawatir.
"Maafkan aku Boruto." Hinata menyodorkan kembali formulir itu ke anaknya.
Bahu Boruto lemas dan merosot. "Aku kecewa padamu," ucapnya lalu pergi meninggalkan Hinata yang hanya diam seribu bahasa.
***
Di lain tempat, pada sebuah kantor pusat, seorang pria berumur awal tiga puluhan tengah sibuk mengisi dokumen kenegaraan di meja pribadinya. Suara pintu terdengar di tengah kesibukannya, seseorang masuk membawa dokumen yang tidak seolah tak ada habisnya.
"Naruto, istirahatlah. Akan aku lanjutkan sisanya," ujar seorang yang baru masuk itu.
Naruto melirik sekilas, lalu kembali fokus pada berkas-berkas di tangan dan mejanya. "Sedikit lagi aku selesai. Bagian ini harus aku sendiri yang kerjakan, Shika. Tidak bisa setengah-setengah dikerjakan orang lain."
"Hei, memangnya kau kuda? Istirahatlah sejenak, berkas-berkas itu akan selalu ada di tempatnya." Shikamaru meletakkan tumpukan file di pinggir meja lalu merapikan semua berkas yang ada di dekat Naruto. Bila tak ia lakukan begitu, Naruto tidak akan berhenti bekerja. Ia terlalu memaksakan dirinya, padahal kantung matanya sudah sangat tercetak jelas.
"Aku pesankan kau kopi dan beberapa makanan. Tunggulah di sofa."
Naruto mengusap rambut pirangnya pasrah. Ia bangun dan pindah tempat duduk ke sofa yang tak jauh dari sana, sementara Shikamaru membuka-buka file yang ia bawa tadi.
"Apa kau sudah tau tentang study tour dari sekolah di Suna?"
Naruto mengernyit. "Aku baru tau darimu. Memangnya dari sekolah mana?"
"Sekolah Dasar Kurono, dari Kota Gifu. Apa kau teringat sesuatu setelah mendengarnya?"
Naruto menatap Shikamaru yang juga menatapnya dengan tatapan datar namun sarat akan makna. Tiba-tiba sebuah suara melintas di kepalanya.
"Selama nafas ini masih berembus, aku pastikan Boruto tidak akan pernah mengenalmu, Naruto. Aku bersumpah."
Lelaki bertubuh jangkung itu merebahkan punggung besarnya pada sandaran sofa. Sosok itu datang kembali ke dalam pikirannya. Gadis cantik berambut langit malam, bagaimana bisa ia lupa? Pada bibir merah muda yang selalu tersenyum ketika melihatnya datang, pada poni rambutnya yang menutupi alis, dan pada perasaan kuat yang nyaris saja melemahkannya.
"Kau menyesal sekarang," tuduh Shikamaru.
Sudut bibir Naruto sedikit naik. "Aku tidak pernah menyesali segala keputusan yang pernah kubuat, Tuan Nara. Sekalipun aku harus memotong seluruh jari dan menusuk mataku sendiri. Aku tidak pernah menyesal."
To be continued.
Long time no see, u guys. Can't believe this story can be the most read than the orther of mine.Can u take ur time read my other toddler. Maybe you'd like it.
See ya, next time.