8

516 64 15
                                    

Suasana di sekolah kala itu ramai oleh orang tua yang mengantar anak mereka untuk pergi study tour. Sebelum ada arahan, mereka berkumpul di lapangan sekolah seraya berbincang-bincang. Keadaan langit sangat cerah, seolah mendukung rencana tour mereka.

Di sudut lapangan, Boruto menerima wejangan dari Ibunya yang seolah tidak ada habisnya.

"Jangan lupa selalu pakai jaket dan kaus kaki, ya. Di sana tidak seperti Suna yang panas. Kalau mabuk minum obatnya satu tablet saja, jangan banyak-banyak. Letakkan bantalmu ke perut dan minum jahe yang sudah ibu buatkan."

Boruto menghela napas dan memutar bola matanya berkali-kali.

"Iya, bu."

"Jangan taruh dompet sembarangan. Jangan tinggalkan tasmu. Jangan mudah percaya dengan orang asing. Jangan teledor menaruh barang. Pokoknya jangan, jangan, jangan."

"Iya, bu. Aku bukan anak kecil lagi."

Hinata berjongkok meraih dagu Boruto dan mengarahkannya untuk berhadapan. "Kau masih sangat kecil Boruto. Aku bisa mengangkatmu dan menerbangkanmu ke atas atap sekarang juga. Apalagi orang jahat. Mereka bisa dengan mudahnya menerbangkanmu sampai ke puncak gunung fuji. Makanya kalau ada orang mencurigakan, tarik alarm dari tasmu dan lari. Mengerti?"

Boruto hanya bisa menghembuskan napas malas. "Berlebihan."

Tak lama dari itu, mereka diberitahu untuk masuk ke dalam bis masing-masing. Tempat duduk telah diatur oleh sekolah, Boruto duduk di kursi dua terdepan bersama anak lelaki bernama Shinki. Tepat di depan mereka ada guru pendamping tour.

Mesin bis mulai dinyalakan, para murid merapat ke jendela untuk memberi salam perpisahan pada orang tua mereka. Boruto yang duduk tepat di samping jendela pun menoleh ke bawah bis. Ibunya berdiri sambil mengangkat ponsel di udara dan menunjuknya supaya Boruto melihat ponsel.

Boruto meraba tas tangan berisi perbekalan yang telah disiapkan Hinata. Ia mengeluarkan benda pipih dari sana dan membuka pesan dari Hinata.

Nyalakan GPSmu.

Boruto mengela malas, tanpa membantah ia menyalakan fitur location di ponsel pintarnya. Tidak ada yang bisa membantah Hinata saat dalam mode posesif.

Sudah.

Kabari Ibu kalau bisnya berhenti.

Lagi-lagi Boruto menghela napas berat. Padahal dari grup wali murid pasti diberitakan mereka telah sampai mana saja dan ia juga sudah mengaktifkan GPS pada ponsel. Ibunya masih menuntut kabar darinya, jujur ini berlebihan. Boruto hanya ingin bersenang-senang dalam perjalanan ini.

"Hyuu-ga ... Bo-ru-to."

Boruto menoleh ke sampingnya. Seorang anak lelaki sedang mengeja tulisan pada kalung name tag Boruto. Anak lelaki itu menunjukkan foto pada ponselnya, diambil dari spanduk pembangunan jalan tol. Foto hokage menjadi highlight.

"Kau sangat mirip dengannya," kata bocah itu.

"Aku juga merasa mirip." Boruto tersenyum bangga.

"Apa ayahmu juga mirip dengannya?"

"Aku tidak punya ayah."

Anak lelaki bernama Shinki itu memasang wajah kaget. "Kenapa?" tanya Shinki polos.

"Entahlah, Ibuku tidak pernah cerita." Boruto mulai jengah.

"Apa kau pernah bertanya? Memangnya kau tidak merindukan ayahmu?"

"Aku tidak merindukannya, dia tidak pernah ada di hidupku selama ini."

Shinki tertegun. "Wah ... berarti kau anak yatim, ya?"

Boruto menatap Shinki tidak suka. Ia berusaha menenangkan dirinya untuk tidak berkata apapun, karena Boruto tau kalau ia berbicara pasti akan menyakiti hati Shinki. Ia terus meyakinkan dirinya bahwa Shinki masih terlalu kecil dan belum memiliki pengetahuan moral.

Guru pendamping tour yang mendengar percakapan tersebut menoleh ke belakang. Ia menasihati Shinki dengan cara baik.

"Shinki, terkadang ada beberapa hal yang tidak bisa dikatakan secara terang-terangan. Termasuk perihal  orang tua temanmu. Lain kali jangan bicara seperti tadi, ya. Minta maaflah pada Boruto."

Mendapat teguran seperti itu, mata Shinki mulai memerah seolah siap kapan saja meluapkan air. Tangannya maju ke hadapan Boruto. "A-aku minta maaf, ya ...."

Boruto balas menjabat tangan Shinki. "Sudahlah jangan menangis," ujar Boruto dengan wajah tanpa ekspresi.

Mendengar hal itu air mata Shinki malah meluncur dengan deras. Guru pendamping yang tadi menasihati shinki sampai turun tangan untuk menenangkan, ia minta maaf berkali-kali kepada anak itu.

Sedangkan Boruto memilih untuk mengabaikannya. Ia bersedekap sambil menatap keluar jendela. Pertanyaan Shinki membuatnya kepikiran. Apa benar selama ini dirinya tidak pernah bertanya tentang keberadaan sang ayah, atau mungkin ia pernah bertanya saat ia masih kecil lalu melupakannya. Entahlah. Begitu pulang dari tour ini ia harus bertanya pada sang Ibu.

To be continued.

It's Too Late, is It?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang