Ch. 44: It's never too late to try

15.6K 1.6K 37
                                    

LUNA

"Happy long holiday, Lun," ujar Hanifa seraya memelukku singkat ketika kami berpisah di Bandara Soekarno-Hatta sekembalinya dari Gresik. "Mending lo liburan ke mana gitu biar nggak sumpek kerja mulu. Pokoknya nanti hari Senin muka lo harus glowing lagi."

"You too." Aku tertawa pelan lalu menganggukkan kepala. Kemudian bergerak untuk memeluk Dewa yang sudah membuka tangannya dengan mata yang sulit terbuka. "Happy holiday, Dewa. Itu mata buka dulu yang lebar daripada lo nabrak-nabrak pas jalan."

"Gue ngantuk banget sumpah," keluh Dewa sambil mengusap wajahnya. Detik kemudian, matanya sudah terbuka lebar. "Selamat liburan, Lun. Jangan galauin si konsultan itu terus. Kalau emang kalian jodoh, pasti nanti dipertemukan lagi."

Aku mengulum senyum. Berhari-hari menghabiskan hampir dua puluh empat jam bersama Hanifa dan Dewa membuat mereka lebih leluasa menginterogasiku. Meskipun sudah tidak pernah menangis lagi sejak pergi ke Gresik, sepertinya wajah muramku tidak bisa disembunyikan dari mereka. Hingga akhirnya di suatu malam, ketika sedang menyelesaikan laporan bersama di kamar hotel, aku mengaku pada mereka setelah berbagai desakan. Walaupun aku hanya mengatakan, gue putus, mereka langsung mengerti tanpa bertanya lebih lanjut. Dan aku tidak memberitahu mereka lebih banyak lagi.

"Berhenti ngomongin dia. Kapan gue bisa move on-nya kalau lo ngomongin dia terus?" gurauku yang disambut tawa kecil dari Hanifa dan Dewa. Dari sudut mataku, aku melihat sebuah taksi yang berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri. "Itu taksi gue. Duluan, ya! Hati-hati di jalan!"

Aku berlalu sambil melambaikan tangan ke Hanifa dan Dewa. Begitu memasuki taksi itu, aku mengucapkan tujuanku. Bintaro. Supir taksi itu langsung mengetikkan alamat yang kusebutkan di maps. Aku sudah kehabisan alasan untuk pulang ke rumah ketika Mama mendesakku kemarin. Aku tidak bisa menghindari orang tuaku selamanya. Setelah berjanji aku akan menghabiskan long weekend di rumah utama, barulah Mama berhenti mencecarku.

Senyum yang terukir di bibirku menghilang ketika taksi yang kutumpangi melaju. Terakhir kali aku pergi field work, Aksa menjemputku meski dia harus menempuh kemacetan yang luar biasa untuk sampai ke bandara. Dia bahkan menyempatkan diri di sela-sela kesibukannya untuk memastikan jadwal terbangku. Sekarang semua tidak lagi sama. Aku pulang dengan taksi. Nyaris seluruh pesan yang masuk ke ponselku hanya berkaitan dengan pekerjaan. Beberapa di antaranya dari orang tuaku yang bertanya tentang kesibukan dan kondisiku.

Terhitung sudah beberapa minggu berlalu sejak hubunganku dan Aksa berakhir, tetapi nyatanya aku masih belum terbiasa dengan ketidakhadirannya. My life suddenly becomes empty.

Dulu, kondisi seperti ini yang menjadi ketakutan terbesarku ketika menjalin hubungan dengan Aksa. Disakiti dan ditinggalkan. Ketakutan itu justru mempengaruhiku dan menjadi bumerang dalam hubunganku. Setelah semua yang terjadi, aku sadar bahwa ketakutan itulah yang menjadi alasan kenapa Aksa meninggalkanku. Mungkin dia lelah meyakinkan diriku dan dirinya sendiri kalau ketakutan yang kumiliki bukanlah hal yang nyata. Mungkin dia terlanjur kecewa setelah aku meragukan perasaannya padaku.

Sometimes when we were angry, we always ended up saying things that we're going to regret. When I think about thay day again, I realized I was out of the line. And I regret a lot of things that happened that day.

I wish I could turn back the time.

Tapi, itu semua percuma. Aku tahu aku tidak memiliki kekuatan ajaib untuk mengulang waktu dan semua kata yang sudah terucap tidak bisa kutarik begitu saja. What is done cannot be undone.

Aku tidak tahu sudah berapa lama melamun dengan pikiran penuh yang sulit untuk kuuraikan satu per satu. Tampaknya cukup lama karena taksi yang kutumpangi sudah memasuki komplek perumahanku di Bintaro. Aku mengarahkan supir taksi itu menuju rumahku dan melangkah keluar setelah memberikan sejumlah uang sesuai dengan tarif yang tertera.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang