Ch. 39: Broke into million tiny pieces

14K 1.5K 60
                                    

AKSA

Aku memenuhi permintaan Amanda untuk bertemu hari ini setelah mempertimbangkan banyak hal. Selain dia harus mendapatkan peringatan tegas terkait perilakunya yang semakin mengganggu, aku tidak ingin kehadirannya membuat Luna terusik dan tidak nyaman—meskipun hubungan yang tersisa antara aku dengan Amanda hanyalah sebatas rekan kerja. Amanda mengajakku bertemu di Excelso Grand Indonesia setelah aku menolak ajakannya untuk makan siang bersama. Masalah ini harus diselesaikan dengan cepat.

"Aku nggak nyangka kalau kamu mau ketemu sama aku, Sa," ujar Amanda dengan senang setelah kami duduk berhadapan di sebuah meja yang ada di area indoor. Sedangkan area outdoor dibatasi oleh sebuah kaca transparan. "Aku kira kamu nggak akan balas chat aku kayak biasanya. Should I assume this as a good sign?"

"Aku nggak berniat lama-lama di sini, Man," tegasku, tidak berniat untuk meladeni omongannya yang melantur. "I don't give a shit about your status as my client, but if you keep disturb me like this, I'm going to block your number. Kalau aku nggak balas pesan atau angkat telepon dari kamu, berarti aku emang nggak berminat buat berhubungan sama kamu. Apa sikapku masih kurang jelas?"

"Kamu nggak bisa bersikap kayak gitu. You should be professional. Kalau kamu block nomorku, proyek kantorku nggak akan berjalan lancar dan kamu yang akan kesusahan karena nggak bisa dapat input yang kamu butuhkan buat menyelesaikan pekerjaan kamu," sahut Amanda dengan senyum miring. Tangannya menopang dagu sementara matanya tertuju lurus ke arahku. "Yakin kamu mau block nomorku?"

"Bukan kamu satu-satunya orang di divisi kamu yang terlibat di proyek ini. Aku masih bisa hubungi mereka kalau ada hal-hal yang aku butuhin," balasku tajam. "Kamu nggak sepenting itu, Man."

Seketika, bola mata Amanda memancarkan amarah yang begitu kentara. Tapi, itu hanya berlangsung satu detik karena setelahnya dia langsung mengendalikan raut wajahnya. "Semua dokumen penting aku yang pegang, Sa," timpalnya, meremehkan. "Aku yang paling senior di divisiku dan mau nggak mau kita pasti berhubungan intens demi kelancaran proyek perusahaanku."

Aku melengos, merasa muak dengan situasi ini. "Demi kelancaran proyek, ya?" sindirku. "Apa kirim chat ke aku nyaris setiap hari di luar jam kantor dan telepon aku tengah malam itu termasuk untuk kelancaran proyek? Proyek apa yang kamu maksud? Karena, sepanjang aku kerja jadi konsultan, dari sekian banyak klien yang kupegang, nggak ada yang menghubungiku selancang kamu di luar jam kantor."

"Itu caraku buat berhubungan baik sama konsultanku."

"Apa kamu nggak tahu etika dalam menghubungi rekan kerja? Kamu udah kerja bertahun-tahun. Seharusnya kamu tahu kalau menghubungi rekan kerja di luar jam kantor itu bukan hal yang normal kecuali ada hal yang memang mendesak," geramku.

"Segala hal tentang kita sifatnya emang mendesak. Kamu baru tahu?"

"Sekarang kamu baru mau ngaku kalau niat kamu bukan untuk pekerjaan?"

Sebisa mungkin aku mengatur emosiku di depannya. Mau bagaimana pun juga, kami sedang berada di tempat umum. Aku tidak ingin ada orang lain yang mencuri dengar pembicaraan ini. Terutama laki-laki yang sekarang berada di meja tak jauh dari meja yang kududuki. Aku juga tidak ingin amarahku menjadi bumerang. Amanda could take this to her advantage. She is good at it—playing drama to get whatever she wants.

Amanda mendengus lalu membuang pandangannya. Dia tidak bisa menutupi kekesalannya karena aku berhasil memutarbalikkan perkataannya. "You can say whatever you want," ujarnya sebelum mengembalikan titik pandangnya ke arahku. "Bagus kalau kamu emang paham apa maksud semua perlakuanku. Aku nggak akan menyerah begitu aja."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang