LUNA
"Ada yang mau lo ceritain ke gue?"
Aku berhenti melahap greek yoghurt yang sering kujadikan cemilan ketika Lisa menghampiriku di pantry. Tatapan matanya menyelidik ketika aku membuang muka, enggan menatapnya. Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku kembali mengarahkan perhatianku pada serial TV di Netflix yang sedang kutonton melalui ponsel.
"Hai," sapaku, agak terkejut melihat Lisa datang ke Bintaro di akhir minggu seperti ini. Sejak menikah, Lisa memang sudah tidak tinggal bersama orang tua kami dan pindah ke rumah yang dibeli Adam di daerah Menteng. "Tumben ke sini. Adam ikut?"
"Lo kenapa? Pulang pergi Bintaro-Sudirman selama lebih dari seminggu. Lo udah nggak betah tinggal di apartemen? Atau ada masalah lain?" tanya Lisa bertubi-tubi. Dia duduk di sebelahku dengan tangan yang terlipat di depan dada. "Jangan bilang kalau lo kangen rumah karena alasan itu kedengeran bullshit banget di telinga gue."
Aku mendesah. "Nggak ada apa-apa, Lis."
"Tapi, perasaan gue itu nggak enak selama beberapa hari terakhir, Lun," sahutnya. "Kalau gue udah merasa kayak gini ditambah sikap lo mulai aneh, berarti lo lagi nutupin sesuatu—masalah atau apapun itu. Bukannya gue mau ikut campur, tapi Mama dan Papa mulai khawatir."
Aku mengerutkan kening. "Karena?" tanyaku bingung. "Gue merasa nggak melakukan sesuatu yang bikin mereka khawatir. Gue berangkat kerja seperti biasa, makan teratur, dan jarang lembur karena kerjaan belum begitu banyak."
"Lo akhir-akhir ini suka nggak fokus."
"Mama bilang begitu?"
Lisa mengangguk pelan. "Papa juga."
Kali ini, aku terdiam. Aku menaruh cup yoghurt yang ada di tangan, mematikan serial TV yang sedari tadi kutonton untuk mengalihkan pikiran. Sebenarnya, aku sudah menebak cepat atau lambat Lisa akan mengonfrontasiku. Pikiran yang tidak karuan serta hati yang gundah pasti secara tidak langsung akan dirasakan juga oleh Lisa, mengingat dia adalah kembaran yang sangat peka dan kami bisa merasakan secara tidak langsung apabila terjadi sesuatu tidak beres pada satu sama lain. Namun, aku tidak menyangka Lisa akan sadar secepat ini.
"Lagi ada masalah sama Damar?" tanya Lisa, berhati-hati.
Mendengar nama laki-laki itu disebut, tubuhku langsung bergetar beriringan dengan imaji pertengkaran terakhir yang melintas di pikiran. Melihat hal itu, Lisa langsung mendekapku erat sambil terus bertanya hal yang sedang berusaha kusembunyikan.
Dengan napas yang sesekali tersengal, aku menceritakan dengan lengkap apa yang menjadi beban pikiranku beberapa hari terakhir. Tidak hanya pertengkaran kami minggu lalu yang berakhir dengan keputusanku mengakhiri hubungan kami, tetapi semua permasalahan yang akhir-akhir ini tidak pernah menemukan titik terang, termasuk topik pertengkaran yang selalu Damar ungkit setiap bertemu denganku.
"Dia gila, ya?!" umpat Lisa setelah aku mengakhiri ceritaku dengan penuh putus asa. Bahkan, aku sudah tidak mampu menangis karena air mataku mungkin sudah kering setelah kuhabiskan beberapa hari ini. "Gue udah mengira kalau lo ada masalah sama Damar, tapi gue nggak tahu kalau masalahnya separah ini."
"Gue juga nggak ngerti kenapa hubungan gue bisa se-messed up ini," gumamku, lelah.
"Terus sekarang lo mau gimana?"
Aku mengangkat bahu. "Damar udah chat berkali-kali. Ngajak ketemu buat ngomongin masalah ini dan minta kesempatan terakhir, tapi gue pikir udah nggak ada lagi yang bisa kita omongin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]
RomansaLuna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali di sebuah liburan singkat selama satu minggu ke Malang yang dirancang oleh Lisa, kembarannya Luna. Selama dua puluh empat jam per hari dalam...